Dua Hal yang Dikritisi BEI dalam Laporan Keuangan Garuda

Garuda Indonesia/Ilustrasi
Sumber :
  • ANTARA Foto/Muhammad Iqbal

VIVA – Dalam menelusuri masalah laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk yang dianggap bermasalah, PT Bursa Efek Indonesia menyoroti beberapa hal yang dinilai perlu diperjelas oleh pihak maskapai pelat merah tersebut.

Ekspansi Bisnis, Bos MD Pictures Jual Saham FILM Raup Rp 1,25 Triliun

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengatakan, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah masalah audit laporan keuangan Garuda di tahun buku 2018, dan laporan keuangan di kuartal I-2019.

"Jadi yang (laporan keuangan) audited 2018 sama kuartal I (2019) itu menjadi bagian yang tidak terpisah, makanya ada dua terminologi yang kami sampaikan," kata Nyoman di gedung Bursa Efek Indonesia, Selasa 18 Juni 2019.

Cinema XXI Tebar Dividen 2023 Rp 666 Miliar

Nyoman menjelaskan, untuk laporan keuangan Garuda tahun buku 2018, hal yang perlu disoroti adalah masalah pengakuan awal pihak Garuda pada aspek pendapatan mereka. 

Sementara untuk laporan keuangan Garuda di kuartal I-2019, Nyoman mengaku fokus pada aspek kualitas aset Garuda, terkait piutang apa saja yang diakui mereka sampai kuartal I-2019 tersebut.

Unilever Indonesia Raup Laba Bersih Rp 4,8 Triliun pada 2023, Anjlok 10,5 Persen

"Bagaimana mereka mengakui adanya penjualan tersebut, dasarnya apa? Setelah itu kuartal I-2019 soal kualitas asetnya, bagaimana mereka meyakinkan bahwa piutang yang dicatat di kuartal I itu memang benar-benar dalam kondisi yang kolektibilitasnya layak untuk dicatat," ujarnya.

Nyoman menjelaskan, untuk laporan keuangan Garuda di kuartal I-2019, adanya perjanjian di Oktober 2018 di mana laporan keuangannya di submit pada Desember 2018, menurutnya akan memperlihatkan berapa sebetulnya pendapatan Garuda sampai pada periode tersebut.

"Kalau pada saat mereka menyampaikan, kan mereka sudah akui tuh di initial recognition itu penuh, di mana dia tidak mempertimbangkan yang 15 tahun kontraknya," kata Nyoman.

Sementara hal itu dicatat sebagai piutang oleh pihak Garuda meskipun tidak ada cash-nya, lanjut Nyoman, namun ternyata hal itu masuk dalam catatan laporan keuangan di kuartal I-2019. "Sedangkan di perjanjian Oktober, harusnya bentuknya sudah dalam bentuk cash," ujar Nyoman.

Karenanya, Nyoman menegaskan hal itulah yang perlu dicatat, yakni soal pengakuan awal Garuda yang mengakui pendapatan tersebut. Di mana seharusnya, hal itu juga memperhatikan windows selama 15 tahun kontrak, dan tidak bisa dilaporkan sebagai pendapatan pada 2018 saja.

"Kami juga melakukan pengujian terhadap tingkat kolektabilitas dari aset yang dia punya berupa piutang, kan ini dicatat sebagai piutang. Di perjanjian dikatakan bahwa cash wajib diterima di Oktober," kata Nyoman.

"Tapi sampai saat ini dan tentunya di kuartal I, juga yang disampaikan April, belum ada. Sehingga kami mempertanyakan hal tersebut," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya