Bos Inalum: Hilirisasi Minerba RI Bisa Kalah Saing Kalau Listrik Mahal

Direktur Utama PT Inalum (Persero), Budi Gunadi Sadikin.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Industri hilirisasi mineral dan batu bara Indonesia dinilai bisa kalah saing dengan negara lain, jika tarif listrik mahal. Setiap proses produksi bahan tambang untuk menjadi produk jadi, dikatakan membutuhkan pasokan energi yang besar. 

Menteri ESDM Sebut RI Bakal Punya Smelter Bauksit di 2027

Hal itu diungkapkan Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin 8 Juli 2019. Menurutnya, industri hilirisasi minerba patut menjadi perhatian bagi pemerintah ke depannya. 

Dia menjabarkan, semisal untuk memproduksi alumunium per tonnya dibutuhkan listrik mencapai 14 ribu kilo watt hour (kwh). Sementara itu, untuk pengolahan tembaga atau copper dibutuhkan listrik dengan daya 10 ribu kwh per ton, dan nikel membutuhkan 4-5 kwh per ton. 

MIND ID Kebut Proyek Smelter Alumina Akselerasi Hilirisasi Bauksit

"Sehingga, kalau energi strategisnya mahal atau tidak murah, kita tidak bisa kompetisi di dunia," kata Budi.

Dia menjelaskan, persoalan harga listrik yang mahal telah menyebabkan beberapa industri hilirisasi di dunia menutup pabriknya. Seharusnya, kata Budi, hal ini tidak terjadi di Indonesia ke depan. 

Nama Usaha MIND ID Resmi Jadi PT Mineral Industri Indonesia, Inalum Kini Anak Usaha

"Indonesia punya potensi air, ada PLN untuk kembangin listrik yang paling murah," ucap Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu. 

Karena itu, Budi menekankan, pihaknya membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam hal suplai listrik yang murah. "Kami butuh dukungan pemerintah, potensi PLTA agar bisa dialokasikan untuk industri hilir minerba, jadi (membantu) global positioning kita, jadi lebih murah," katanya. 

Di satu sisi, dia menjelaskan, pihaknya juga butuh dukungan dari pemerintah dalam hal Research and Development di bidang hilirisasi. 

"Pengalaman kami teknologi processing ini sangat susah berkompetisi, karena pihak lain di subsidi negara, seperti China itu R&D dibantu penuh negara dan perguruan tinggi lebih baik, jauh lebih maju dan cepat," katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya