Defisit Neraca Migas Semakin Menurun

Kegiatan industri migas/Foto ilustrasi.
Sumber :
  • ANTV/Veros Afif

VIVA – Dalam sidang kabinet di Istana Kepresidenan Bogor, Senin, 8 Juli 2019, Presiden Joko Widodo memperingatkan menteri Kabinet Kerja untuk meningkatkan kinerja di sektor ekonomi. Sebab, defisit Neraca Dagang Indonesia (NDI) pada periode Januari-Mei 2019 mencapai US$2,14 miliar.  

Saham Bumi Resources Meroket Usai Umumkan Rencana Kuasi Reorganisasi, Ini Penjelasan Manajemen

Secara khusus, peringatan Joko Widodo itu ditujukan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Joko Widodo menginginkan defisit US$2,14 miliar harus dicermati dari mana angka itu. Jadi pertanyaan kenapa impor sangat tinggi. Selain itu, migas naiknya besar sekali.

Defisit APBN 2024 Diperlebar Jadi 2,8 Persen Gegara Subsidi Pupuk hingga BLT

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, pada Januari-Mei 2019, NDI memang masih mengalami defisit sebesar US$2,14 miliar. Namun, defisit itu sesungguhnya lebih kecil dibanding defisit periode sama pada 2018, yang mencapai US$2,86 miliar.

Penurunan defisit itu, salah satunya disumbang oleh penurunan impor, termasuk impor migas. Penurunan total impor dalam NDI sebesar 9,2 persen, sedangkan penurunan impor migas lebih besar mencapai 23,7 persen.

Sri Mulyani Buka Suara soal Program Makan Siang Gratis, Defisit Anggaran 2025 Naik

Menurut pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, penurunan impor migas itu disumbang oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74 persen), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44 persen), dan gas US$24,2 juta (2,14 persen).

Kendati impor migas mengalami penurunan signifikan, masih defisitnya neraca migas itu sesungguhnya merupakan konsekuensi untuk menjadikan komoditas migas sebagai pendorong pembangunan, bukan penghasil devisa untuk APBN.

Defisit neraca migas juga terjadi di beberapa negara maju, seperti AS, Jepang, Korea Selatan, bahkan terjadi juga di beberapa negara penghasil minyak. Meskipun demikian, sesungguhnya sudah dilakukan berbagai upaya untuk menekan defisit neraca migas.

Menurut Fahmy, pengembangan Energ Baru Terbarukan (EBT), selain untuk menggantikan energi fosil, juga dimaksudkan untuk menurunkan impor migas, termasuk penggunaan B-20 dan B-30 yang sudah dapat mengurangi impor solar dalam jumlah besar.

Kerja sama antara Pertamina dengan Eni Italia, yang mengolah sawit menjadi bio solar dan avtur, tidak hanya akan menghasilkan energi bersih untuk menurunkan impor migas, tetapi juga dapat mendongkrak harga sawit yang saat ini sedang terpuruk.

Demikian juga dengan pembangunan kilang minyak Pertamina dan pembelian crude oil dari kontraktor di dalam negeri dimaksudkan untuk mengurangi impor BBM dan minyak mentah yang diolah di kilang dalam negeri. Upaya serius dan terus-menerus untuk mengembangkan mobil listrik sebenarnya juga untuk mengurangi impor BBM, di samping menggunakan kendaraan yang bersih lingkungan.

Namun, Fahmy menyayangkan, peraturan Presiden (perpres) yang mengatur kendaraan listrik hingga kini belum juga terbit. Padahal sudah banyak investor mobil listrik yang menyatakan komitmennya untuk membangun manufaktur mobil listrik di Indonesia, tetapi para investor itu masih menunggu kepastian perpresnya.

Memang impor migas itu turut menyumbang defisit NDI, tetapi perlu diingat bahwa proporsi impor migas pada NDI hanya sebesar 13 persen dari total impor. Sementara itu, penyebab terbesar defisit NDI sebesar US$2,14 miliar adalah penurunan surplus non-migas sebesar 28,3 persen, sedangkan penurunan defisit migas mencapai 26,6 persen.

Hasil dari berbagai upaya untuk menurunkan impor migas memang tidak bisa instan, masih butuh waktu untuk dapat menurunkan impor migas. Namun, data menunjukkan bahwa upaya tersebut sudah menampakkan hasil dengan penurunan defisit migas hingga mencapai 26,6 persen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya