Marak E-Commerce, Tak Berarti Konsumen Ogah Belanja ke Mal

Ilustrasi tenant di pusat perbelanjaan atau mal.
Sumber :
  • Real Estate Weekly

VIVA – Perubahan gaya berbelanja masyarakat Indonesia dari konvensional ke digital berpengaruh terhadap tingkat hunian pusat perbelanjaan, khususnya di Jakarta.

Kulineran di Bogor, Bisa Belanja Sekaligus Nikmati Dodonyaki Khas Jepang yang Lezat

Karena itu, pengelola pusat perbelanjaan atau mal didorong beradaptasi dengan perubahan yang terjadi seiring maraknya e-commerce atau belanja online.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, maka konsep pusat perbelanjaan harus berubah. Head of Research & Consultancy Savills, Anton Sitorus mengakui jika tingkat hunian pusat perbelanjaan di Jakarta menurun hingga angka 78 persen dibandingkan tiga atau empat tahun lalu yang mencapai 92 persen.

Migrasi TikTok Shop dan Tokopedia Dinilai Bikin E-Commerce Makin Dinamis, Ini Penjelasannya

"Tapi jangan khawatir. Angka ini masih dalam titik aman," kata dia di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2019. Bahkan, lanjut dia, jika dilihat dari sisi mal kelas atas (upper class), tingkat huniannya justru meroket ke atas 92 persen.

Dari sisi harga sewa ruang, perusahaan riset properti, Jones Lang LaSalle menyebut, untuk pusat perbelanjaan atau mal kelas atas di wilayah DKI Jakarta cenderung naik pada tahun ini.

Beda Penafsiran Permendag 31/2023 Jangan Bikin Rezeki UMKM Seret, Ini Penjelasannya

Diperkirakan, pada kinerja kuartal IV 2018, harganya stabil di angka Rp600 ribu per meter persegi.

Hal ini menunjukkan kenaikkan di kuartal pertama hingga akhir 2019 menjadi Rp610 ribu. Kemudian, untuk mal kelas menengah (middle class), harga sewanya mencapai Rp300 ribu per meter persegi, dari sebelumnya Rp250 ribu per meter persegi di tahun lalu.

Sementara itu, mal kelas menengah ke bawah (middle low class), harga sewanya stagnan, atau di angka Rp250 ribu per meter persegi sejak 2015 hingga 2017, dan harganya diproyeksi masih sama hingga akhir tahun ini.

Oleh karena itu, pengelola mal mesti cerdik menangkap pasar yakni dengan mengarahkan bahwa pusat belanja tidak sekadar pusat berbelanja namun menjadi destinasi gaya hidup bagi konsumen.

Ilustrasi pusat perbelanjaan atau mal.

Satu sisi, pengembang mal mesti melakukan inovasi dengan menghadirkan store environment yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen terhadap terjadinya pembelian.

Sisi lainnya, penyewa (tenant) juga mesti dapat memanfaatkan ruang secara optimal, sehingga ruang tersebut ikut berkontibusi mendatangkan keuntungan serta tenant bisa memanfaatkan semua sisi ruang untuk display produk.

Technical Sales Manager PT Sanwamas Metal Industry, Permadi Sudjana, mengatakan menggunakan rolling door atau shutter dapat menjadi cara untuk menghemat ruang.

"Sistem buka tutup rolling door atau shutter, artinya pintu akan menggulung ke atas saat membuka. Jadi, begitu sebuah toko dibuka, maka ruang display menjadi luas dan lebih banyak ruang yang digunakan,” ujar Permadi.

Ia melanjutkan, bila berhitung dari sisi bisnis dengan mempertimbangkan harga sewa dari mal. Tentu, tenant mengharapkan bahwa ruang yang disewa itu mendatangkan keuntungan.

"Bisa dibayangkan misalnya, satu meter persegi itu sia-sia karena tidak dapat menampilkan semua produk karena masalah penutup. Jika dengan penutup lain yang sistem bukaannya melipat ke samping, masih tersisa sekitar 50 sentimeter di sisi kanan dan 50 cm di sisi kiri, maka 100 cm terbuang sia-sia," jelasnya.

Menurut Permadi, saat ini tren rolling door atau shutter yang banyak digunakan di mal adalah tipe crystal clear shutter dengan desain yang terlihat mewah.

Kedua jenis produk ini bernilai fungsional, sebab tidak hanya diletakkan di dalam mal tapi juga ruang terbuka lainnya di mal yang membutuhkan keamanan bagi pengguna. "Rolling door atau shutter dapat digunakan di area parkir, tempat pembuangan sampah dan toilet," paparnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya