Ombudsman Desak Pemerintah Kepastian Soal Perpres Harga Gas

Jaringan Gas Rumah Tangga PGN
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Polemik harga gas bumi industri terus memantik banyak pihak bersuara. Ombudsman Republik Indonesia pun meminta pemerintah agar segera memberikan kepastian terkait berbagai spekulasi yang berkembang menyangkut harga gas industri.

Harga Gas Murah Industri Bikin Pemasukan Negara Hilang Rp 15,70 Triliun

Pasalnya, isu ini dinilai sudah berkepanjangan dan menciptakan ketidakpastian bagi publik, investor serta pelaku usaha. Alamsyah Saragih, anggota Komisi Ombudsman juga meminta pemerintah untuk memastikan Perpres 40/2016 dilaksanakan secara penuh. Sehingga tidak terjadi maladministrasi.

Ketika Perpres mengatur bahwa penetapan harga gas bumi tertentu dilakukan melalui penyesuaian harga beli gas bumi dari kontraktor hulu dan tanpa mengurangi bagian kontraktor alias dilakukan dengan pengurangan bagian negara, lanjut Alamsyah, maka itu harus dilakukan sesuai ketentuan. Tidak ditambah atau dikurangi.

Kebijakan Harga Gas Diharapkan Dukung Keberlanjutan Industri Migas Nasional

"Memang akan mengurangi pendapatan negara sekian triliun, tapi harus tetap dijalankan,” kata Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Selasa 18 Februari 2020. 

Dalam berbagi kesempatan Kementerian ESDM maupun BPH Migas pernah menyatakan bahwa penerapan Perpres 40/2016 akan dilakukan melalui review biaya pengelolaan infrastruktur di midstream dan downstream. Dalam materi rapat kerja dengan komisi VII 27 Januari lalu, Kementerian ESDM menyatakan bahwa salah satu opsi penerapan Perpres 40/2016 adalah  melalui revaluasi biaya transmisi dan distribusi.

Kebijakan Harga Gas Murah untuk Industri Dievaluasi Pemerintah

Maka diperlukan untuk segera lahirnya pedoman berkaitan Perpres itu agar memberikan kepastian kepada semua pihak terkait.

"Ini sudah mau Maret sedangkan penerapannya April. Jadi pemerintah perlu untuk menyusun tata waktu dan tahapan agar jadi pedoman bagi pihak yang berkepentingan," ujarnya.

Sudah terlalu lama

Alamsyah menilai polemik harga gas industri ini sudah berjalan terlalu lama. Akibat keputusan yang tidak kunjung ditetapkan banyak terjadi spekulasi. Dan PGN sebagai aset pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan perluasan pemanfaatan gas bumi, menjadi pihak yang paling dirugikan.

"Itu kenapa perlunya pedoman. Jangan sampai masyarakat dan Industri dibuat bingung yang pada akhirnya timbul ketidakpastian dalam berinvestasi," tuturnya. 

Pemerintah perlu untuk membuat tata waktu dan kerangka implementasi Perpres 40/2016 untuk menjadi pedoman bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya badan usaha niaga sebagai ujung tombak dari pelaksanaan Perpres. 

Harga gas bumi mahal

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, harga gas bumi di Indonesia mahal lantaran harganya di hulu sudah tinggi. Akibatnya, harga gas kepada konsumen di hilir menjadi mahal.  

"Harga bahan baku gas di Indonesia untuk di hulu saja sudah di atas USD5 - USD7 per mmbtu sebelum sampai ke PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Di sisi hulu harga gas kita masih cukup tinggi, itu harus yang bisa tekan ke bawah," ujar Budi beberapa waktu lalu.

Rencana penerapan Perpres 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi telah merontokkan kepercayaan investor pasar modal terhadap PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Sebagai pihak yang bakal menerima penugasan beleid harga gas itu, PGN memang sedang dalam tekanan hebat.

Harga gas sendiri sejatinya tidak menjadi faktor utama penentu kinerja perusahaan. Contohnya PT Arwana Citramulia Tbk. Tanpa adanya penurunan harga gas industri, sepanjang 2019 lalu, produsen keramik ini mampu mencatat pendapatan hingga Rp2,1 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 200 miliar. 

Hal yang berbeda justru dialami oleh PT Krakatau Steel Tbk. Kendati menjadi salah satu BUMN yang telah menikmati harga gas sesuai Perpres 40/2016, kinerja emiten berkode KRAS ini justru terpuruk. Sampai kuartal III 2019, KRAS mencatatkan rugi bersih hingga sebesar Rp2,97 triliun, naik 467 persen dibanding periode sama 2018.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya