Cara Atur Keuangan Tetap Sehat Selama Pandemi COVID-19

keuangan keluarga
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Wabah COVID-19 yang terjadi di Tanah Air, membuat pemerintah menerapkan sistem bekerja dari rumah (work from home/WFH). Sudah sebulan lebih masyarakat terutama pekerja di DKI Jakarta menjalani WFH. 

2 Keuntungan Bisa Didapat Konsumen dari Konsep Ini

Penerapan WFH ini terbilang bukan hal yang mudah, salah satunya berkaitan dengan pengeluaran bulanan. Tidak sedikit dari pekerja yang bekerja dari rumah di masa pandemi ini pengeluaran bulanan terasa semakin besar. 

“Mungkin kesannya memang menjadi lebih boros karena di minggu pertama kita seperti kaget dan euforia. Segala dibeli melalui online. Tak hanya makanan, melainkan juga pernak-pernik rumah, alat memasak, bahkan meja kursi kerja agar bisa bekerja dengan nyaman di rumah,” kata Financial Trainer dari QM Training , Ligwina Hananto, seperti dikutip dari keterangannya, Selasa 28 April 2020. 

Restrukturisasi Kredit Berakhir, Bank Mandiri: Kondisi Debitur Terdampak COVID-19 Kembali Normal

Belum lagi fenomena panic buying untuk mengantisipasi PSBB (Pembatasan Wilayah Skala Besar). Maka dari itu, dia menyarankan untuk masyarakat untuk mulai menghitung jumlah pengeluaran selama sistem WFH ini berlaku. 

“Kita harus mulai berhitung, apakah benar memang bertambah boros. Boros atau hemat itu tidak berdasarkan asumsi, tetapi berdasarkan angka. Coba mulai sekarang hitung semua pengeluaran per bulan, apakah memang menjadi berlebihan?” jelas Ligwina lagi.

Program Restrukturisasi Kredit Terdampak COVID-19 Berakhir, OJK Ungkap Alasan Tak Diperpanjang

Menurutnya, selama pandemi ini memang ada pos pengeluaran yang membesar. Namun, ada pos pegeluaran yang berkurang, misalnya biaya transportasi dan gaya hidup.

Menurut Ligwina, keuangan keluarga dikatakan sehat jika mengikuti kaidah pembelanjaan berikut: dari 100 persen penghasilan, maka 30 persen maksimal digunakan untuk cicilan, pengeluaran rutin 40-60 persen, menabung 10-30 persen, gaya hidup maksimal 20 persen, dan aktivitas sosial minimal 2,5 persen.

“Namun, itu adalah saat kondisi normal. Saat seperti sekarang jika kondisi keuangan sudah masuk kondisi darurat, maka pengeluaran untuk menabung, gaya hidup, dan sosial bisa dihilangkan. Harus ada prioritas, terutama bagi yang mendapatkan penghasilan dari upah harian. Bagi yang masih mendapatkan gaji, biaya cicilan dan pengeluaran rutin tetap harus diprioritaskan,” jelas Ligwina.

Bagaimana dengan dana darurat? Menurut Ligwina, tidak banyak orang yang menyiapkan dana darurat. Jumlahnya pun sangat personal karena kebutuhan masing-masing keluarga berbeda.

Namun, patokan umum besarnya dana darurat adalah sebagai berikut: untuk lajang sebaiknya memiliki dana darurat 4 kali pengeluaran bulanan, pasangan tanpa anak 6 kali pengeluaran bulanan, pasangan dengan 1 anak 9 kali pengeluaran bulanan. Sedangkan untuk pasangan dengan dua anak, minimal memiliki dana darurat 12 kali pengeluaran bulanan.

Golongan yang lebih mendesak untuk memiliki dana darurat adalah pekerja paruh waktu. Misalnya karyawan di industri film, di mana saat ini semua produksi berhenti. Mereka bekerja by project, sehingga tidak ada penghasilan.

“Tidak ada kata terlambat. Mulai sekarang bersiap jika nanti ada krisis ekonomi skala luas. Yang memiliki penghasilan, mulai menyiapkan dana darurat,” kata Ligwina.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya