Rupiah Melemah Terpengaruh Krisis Pandemi Corona dan Kebijakan The Fed

Uang kertas Rupiah dan Dolar AS
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali melemah pada perdagangan Selasa, 22 September 2020. Rupiah kini ditransaksikan di kisaran atas Rp14.750 per dolar AS.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Di pasar spot, hingga Selasa pagi pukul 10.00 WIB, rupiah telah ditransaksikan di level Rp14.760 per dolar AS atau melemah hingga 0,41 persen dari level penutupan perdagangan kemarin di posisi Rp14.700 per dolar AS.

Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia mematok nilai tengah rupiah di level Rp14.782 per dolar AS. Melemah dari nilai tengah kemarin di level Rp14.723 per dolar AS.

Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

Baca juga: IHSG 22 September Dibuka Melemah karena Kasus COVID-19 Makin Tinggi

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, kondisi itu tidak terlepas dari semakin memburuknya angka peningkatan penyebaran wabah pandemi COVID-19 di berbagai dunia, termasuk Indonesia.

Rupiah Amblas ke Rp 16.200 per dolar AS, Gubernur BI Lakukan Intervensi

Misalnya di Inggris, Ibrahim mengatakan, Perdana Menteri Boris Johnson bahkan menyebutnya sebagai gelombang kedua virus corona. Pembatasan sosial pun diberlakukan di sebagian besar wilayah negara dan London rencananya akan menyusul.

"Salah satu penasihat medis utama pemerintah Inggris memperingatkan kalau negara itu berada di titik kritis pandemi COVID-19 menjelang musim dingin yang sangat menantang," ungkap dia dikutip dari analisisnya hari ini.

Di sisi lain, pemerintah Amerika Serikat dikatakannya belum juga menyepakati rencana Presiden AS Donald Trump yang mengindikasikan stimulus lebih besar dari US$ 2 triliun untuk menghadapi COVID-19.  Partai Republik dan Demokrat masih belum sepakat akan besarnya stimulus tambahan yang akan digelontorkan.

Sementara itu, Bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed yang mengumumkan kebijakan moneternya dengan tidak akan menaikkan suku bunga hingga 2023. Kebijakan itu tidak diimbangi dengan program pembelian aset atau quantitative easing yang lebih tinggi.

"Sementara program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih akan dilakukan dengan nilai yang sama seperti saat ini. Artinya, tidak ada stimulus tambahan dari bank sentral paling powerfull di dunia tersebut," tutur Ibrahim. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya