Formasi dan APTI Beberkan Alasan Ngotot Tolak Kenaikan Cukai Rokok

Industri rokok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yusran Uccang

VIVA – Penolakan akan kebijakan baru cukai rokok tahun depan terus digaungkan berbagai pihak. Salah satunya oleh dua organisasi industri hasil tembakau (IHT) besar di Tanah Air, yaitu Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI). 

BPS Sumsel Rilis Nilai Tukar Petani, Naik 2,97 Persen pada Maret

Mereka menyatakan secara tegas tetap menolak rencana kenaikan cukai tembakau pada 2021. Alasannya, rencana kenaikan cukai tidak akan efektif menaikkan penerimaan negara. Semakin cukai rokok naik, harga rokok menjadi semakin tinggi, penjualan rokok menjadi semakin susah.

Baca jugaPengukuhan Pengurus Kadin Jatim, Anindya: Ada yang Istimewa

Seribu Ton Beras Impor Masuk Pulau Sumbawa, Anggota DPR: Mencekik Petani

Akhirnya yang laku di pasaran adalah rokok ilegal yang tidak menggunakan label cukai. Akibatnya penerimaan negara dari sisi cukai juga akan menurun drastis.

Hal tersebut disampaikan dalam keterangan bersama Sekretaris Jenderal (Sekjen) Formasi JP Suhardjo, Ketua APTI Jawa Barat Suryana, dan Ketua APTI Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminudin, dikutip Sabtu 21 November 2020.

Pemerintah Naikkan HPP Gabah dan Beras Sampai 30 Juni 2024

“Seluruh anggota Formasi, merasa berat jika tarif cukai naik. Kalau tarif cukai naik, ini malah memberi rongga kepada pelaku ilegal untuk giat produksi,” papar Suhardjo.

Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan perlindungan kepada pabrikan menengah kecil sebelum mengeluarkan kebijakan. Jika ada pertimbangan target penerimaan negara, pihaknya tidak memungkiri hal itu. Namun, tentu sasarannya bukan rokok saja, ada bidang lain yang bisa dikelola.

Dia menjabarkan, saat ini anggota Formasi mencapai sekitar 60-70 pabrikan dengan jumlah buruh lebih dari 30 ribu orang. Sebanyak 70 persen dari anggota Formasi masih bertahan dengan kondisi sulitnya ekonomi pada masa pandemi virus Corona saat ini. 

Karena itu tegasnya, para pabrik rokok yang tetap mempekerjakan para buruhnya diberikan perlindungan. Bukan malah dimatikan lewat kenaikan tarif cukai rokok yang besar setiap tahunnya.

“Idealnya tarif cukai tetap, itu lebih baik. Tidak dinaikkan. Apalagi karena ini masa COVID, semua kena pengaruhnya. Semua sektor lesu. Kalau tarif cukai naik, saya tidak tahu lagi, bisa semakin banyak yang gulung tikar,” tuturnya. 

Hal senada disampaikan Suryana, yang menyebut bahwa kenaikan cukai rokok akan menekan industri rokok. Jumlah produksi dan penjualan rokok akan menurun karena harga rokok akan naik dan peredaran rokok ilegal akan naik. Otomatis, industri rokok juga akan menekan pembelian tembakau dari para petani tembakau.

“Kalau pemerintah berencana menaikkan cukai rokok  sampai dua digit untuk memperbesar penerimaan negara dari cukai, itu salah. Apa artinya cukai rokok naik, harga rokok naik. Tapi penjualan menurun. Pendapatan negara tetap turun. Ini yang harus diperhatikan oleh Ibu Menteri (Sri Mulyani) dan para pejabat di Kementerian Keuangan,” papar Ketua APTI Jawa Barat, Suryana.

Sementara itu, Ketua APTI NTB Sahminudin menyampaikan, organisasinya pada Senin lalu dipimpin Ketua Umum APTI Agus Parmudji mengadakan aksi penolakan rencana kenaikan cukai, di depan Istana Presiden. Tiga orang perwakilan APTI diterima oleh Kantor Sekretariat Presiden (KSP).

Dalam pertemuan tersebut disampaikan, pemerintah akan menaikkan cukai rokok setelah pilkada serentak Desember. Cukai rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT), tidak dinaikkan. Sekiranya dinaikkan, naiknya sangat minimal. Sementara itu, rokok non SKT akan dinaikkan sebesar 19 persen.

Kebijakan tersebut ditegaskannya tidak akan menolong petani yang tetap akan merugi. Sebab, SKT itu pemakaian tembakaunya sangat rendah. Produksi rokok SKT itu hanya sekitar 18 persen dari jumlah rokok yang diproduksi di Tanah Air. 

"Selebihnya rokok sigaret kretek mesin reguler atau SKMR sekitar 44 persen. SKM light 32 persen. Sisanya rokok sigaret putih mesin atau SPM,” papar Sahminudin.

Menurut Sahminudin, karena jumlah produksi rokok SKT sangat kecil, jumlah tenaga kerja dan tembakau yang terserap juga sangat sedikit. Sehingga, apabila hanya rokok jenis SKT yang cukainya tidak dinaikkan, itu tetap merugikan petani dan industri rokok nasional.

Sementara itu, menurut Suryana, kebijakan yang akan diambil pemerintah itu, seakan berpihak kepada petani dan buruh. Padahal, justru merugikan buruh dan petani tembakau. 

“Orang saat ini jarang merokok SKT. Merokoknya jenis SKM. Pembelian dan pemakaian tembakau untuk rokok SKM sangat tinggi. Kalau cukai untuk SKM dan SPM dinaikkan itu mematikan petani tembakau juga industri rokok,”ungkapnya.

“Kalau hanya SKT yang tidak dinaikkan cukainya, sementara rokok jenis SKM, SKMR, SPM dinaikkan tinggi tinggi, Itu hanya pengalihan isu,” tegas Suryana.

APTI berharap pemerintah lebih peduli pada penderitaan petani tembakau dan buruh industri rokok. Kenaikan cukai pada 2019 menyebabkan pembelian tembakau menurun drastis. Jika pada 2021 cukai rokok kembali dinaikkan, akan semakin banyak tembakau petani tidak laku terjual.

“Kami mohon perhatian Presiden (Jokowi), menteri keuangan juga Gubernur NTB Bapak Zulkieflimansyah, agar memperhatikan petani tembakau. Khususnya petani tembakau NTB,” papar Sahminudin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya