Kejar Target Produksi Migas 2030, Daya Tarik Fiskal RI Perlu Ditambah

Ilustrasi anjungan lepas pantai Pertamina Hulu Energi (PHE).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA – Daya tarik fiskal yang disediakan Pemerintah RI dinilai harus ditingkatkan guna menggairahkan industri hulu migas ke depannya. Hal itu agar pencapaian target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 bisa terwujud.

Rukun Raharja Cetak Laba Bersih US$8 Juta di Kuartal I-2024

Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie Andrew Harwood mengatakan, perlu upaya lebih agar industri hulu migas Indonesia dapat lebih kompetitif bagi investor global. Meski, saat ini Pemerintah telah memberikan sejumlah terobosan seperti fleksibilitas skema kontrak.

Baca juga: Menteri Nadiem Umumkan Seleksi Guru Honorer Jadi ASN Resmi Dibuka

Jajaki Potensi Blok Migas Internasional, Pertamina Gandeng ENI

"Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi," kata Andrew, dalam Forum Group Discussion (FGD) Ekonomi dan Keuangan 2020 bertema 'Strategic Collaborative Synergy and Effective Fiscal Terms' secara daring, dikutip Senin 23 November 2020.

Menurut Andrew, saat ini daya tarik fiskal RI di Industri tersebut berada jauh di bawah Malaysia. Bahkan meski nilainya  atas Irak dan Brasil, insentif fiskal kedua negara itu lebih menarik bagi investor dibandingkan Indonesia.

Turun 12,76 Persen, BPS Catat Kinerja Impor Maret US$17,96 Miliar Gegara Ini

"Pada 2010, Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus," kata Andrew.

Dia menjabarkan, pola pikir investor saat ini tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas. Tren tersebut perlahan berubah karena perusahaan migas mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas.

Karena itu, Andrew menyarankan Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan sejumlah aspek lain dalam investasi di sektor itu. Seperti, split migas, daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.

"Investor berpandangan, kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia," katanya.

Selain itu, pemerintah harus memperhatikan regulasi lain, terutama terkait persoalan perizinan yang selama ini dianggap menjadi hambatan karena berbelit-belit. Pemerintah diharapkan akan bisa memangkas kembali waktu perizinan di sektor hulu migas.

Terkait target produksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 BSCFD pada 2030, Andrew berpendapat program tersebut kemungkinan akan menarik kehadiran banyak investor. Meski dengan nilai investasi yang masih tergolong kecil.

"Pemerintah dan regulator harus aktif untuk menciptakan keseimbangan antara risiko yang dihadapi investor dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas. Dengan benefit yang akan mereka terima," kata Andrew.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Ronald Gunawan mengungkapkan, pemerintah perlu memberikan sinyal positif kepada para investor terutama dalam hal menjaga kesucian kontrak (contract sanctity).

Menurutnya, upaya yang dapat dilakukan berupa merevisi Peraturan Menteri ESDM yang kontradiktif dengan kontrak-kontrak PSC. Selain itu, perlu ada reformasi regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan competitiveness, seperti yang terjadi di North Sea, Australia, dan Mesir.

"Untuk Indonesia, prospektivitas, kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business), dan fiscal attractiveness merupakan poin-poin kritikal yang diambil investor ketika memutuskan untuk menanamkan investasinya," ujar Ronald. (Ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya