Soal Kebijakan Cukai, Pabrik Rokok Minta Menkeu Sri Merujuk UU

Suasana di pabrik rokok. (foto ilustrasi)
Sumber :

VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku masih belum memastikan waktu penerbitan aturan baru mengenai kenaikan tarif cukai rokok pada 2021. Sebab, variabel-variabel yang menjadi penentu kebijakan itu saat ini sangat terdampak COVID-19.

Negara Kantongi Rp 342,88 Triliun dari Penerimaan Pajak hingga 15 Maret 2024

Selain itu, tarif cukai rokok baru akan dikeluarkan pada waktunya untuk tujuan paling optimal dan dalam obyektif yang cukup banyak. Bendahara Negara itu menambahkan, dalam penyusunan kebijakan banyak dimensi yang harus diperhatikan. 

Baca juga: Ekonomi RI Terbaik Kedua Setelah China di G20, Airlangga Bersyukur

Merinding, Puluhan Pekerja di Pabrik Rokok Bojonegoro Alami Kesurupan Massal

Antara lain dimensi kesehatan, dimensi penerimaan negara, dimensi kondisi tenaga kerja, dan dimensi petani tembakau yang memasok industri rokok. Kemudian, dimensi maraknya rokok ilegal yang diproduksi di dalam negeri.

Merespons hal tersebut, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) berharap Sri Mulyani, berpatokan pada amanat Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dalam penyusunan rencana kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2021. 

Di Depan Para Bankir dan Investor, Prabowo Minta Usulan Nama Dirjen Pajak

Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan, mengatakan amanat Pasal 5 Ayat (4) UU tentang Cukai menyebutkan bahwa dalam membuat alternatif kebijakan mengoptimalkan target penerimaan, menteri yang bersangkutan harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri.

“Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai RAPBN dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, seharusnya dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri. Dan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendapat persetujuan," kata Henry dikutip Rabu 25 November dari keterangan resminya.

Berdasarkan catatan GAPPRI, selama ini pemerintah belum menjalankan amanat UU tentang Cukai. Karena, aspirasi dan kondisi industri selama ini tidak mendapat perhatian dalam penentuan kebijakan cukai 2021 karena besarannya akan dinaikan. 

"Sementara ratusan pabrik rokok sudah menutup operasi dan sebagian kecil yang masih survive kehilangan konsumen akibat tingginya harga rokok," imbuh Henry. 

Pemulihan 2 Tahun
Perkumpulan GAPPRI berharap industri hasil tembakau (IHT) diberikan kesempatan untuk melakukan pemulihan paling sedikit dua tahun. Pemerintah pun diharapkan mendengar aspirasi pelaku usaha, sehingga pertimbangan objektif akan menjadi lebih bijak dan harmonis. 

“Salah satu aspirasi pelaku usaha yang patut dipertimbangkan adalah tidak menaikkan cukai hasil tembakau rokok setelah tahun ini. Sebab, IHT dua kali dihantam badai. Badai akibat kenaikan cukai 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen dan pandemi COVID-19,” paparnya.

Henry menambahkan, tidak adanya kenaikan CHT akan mempercepat recovery bagi IHT. Sebab, percepatan pemulihan bisnis juga selaras dengan program pemerintah yang tengah fokus melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat pandemi. 

“Pemulihan ekonomi yang semakin cepat, akan menyelamatkan ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja di sektor industri hasil tembakau,” ujar Henry.

Perkumpulan GAPPRI pun lanjut dia mewanti-wanti apabila pemerintah menaikkan cukai 2021 di tengah pandemi COVID-19 dan pelemahan ekonomi, justru berdampak negatif bagi semua stakeholders.

"Antara lain terhadap penerimaan negara, serapan bahan baku, petani tembakau dan cengkeh, rasionalisasi tenaga kerja, serta rokok ilegal,"tegasnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya