Butuh Kebijakan Pasti Kembangkan Energi Baru Terbarukan

Ilustrasi energi terbarukan.
Sumber :
  • Inhabitat

VIVA – Keberpihakan Pemerintah dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), seiring perubahan tren dunia dinilai harus lebih maksimal. Hal itu bisa dituangkan dalam bentuk kebijakan fokus ke pengembangan EBT.

Pemerintah Harus Antisipasi Kebijakan Ekonomi-Politik Imbas Perang Iran-Israel

Direktur Eksekutif Institute Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa, kebijakan itu dapat membuat iklim investasi di sektor tersebut bisa terus meningkat. Setelah itu, dengan sendirinya kebangkitan Energi Baru Terbarukan bisa terwujud.

"Saya lihat ada komitmen (pengembangan EBT), tapi belum terjemahkan menjadi kebijakan yang bisa dilihat masyarakat dan menjadi acuan bagi pelaku usaha untuk investasi," kata Fabby dikutip dari keterangannya, Selasa, 19 Januari 2021.

Pemilu di AS dan Eropa Diprediksi akan Pengaruhi Iklim Investasi Indonesia

Pengembangan EBT di Indonesia diuji dalam revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Karena ada penurunan target pertumbuhan listrik dari 6,4 persen  per tahun menjadi 4,9 persen per tahun, pemerintah akan memangkas pembangunan pembangkit baru sebesar 15,5 ribu megawatt (MW) atau 15,5 gigawatt (GW).

Baca juga: Dana Pemda yang Mengendap di Bank Turun Drastis, Ada Apa?

Atasi Masalah Kepadatan di Penjara, Israel Usulkan Hukum Mati Tahanan Palestina

Hal itu tegas Fabby akan berdampak terhadap pembangkit yang bersumber pada EBT. Risiko ini ditegaskan harus diantisipasi.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana menyampaikan, kapasitas pembangkit EBT akan dipangkas sekitar 400 Megawatt (MW). Di sisi lain, seperti tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memiliki target bauran EBT sebesar 23 persen bisa dicapai pada 2025.

Fabby menjabarkan, berdasarkan target RUEN, sampai 2025 ada tambahan 10 gigawatt listrik dari EBT. Artinya, pembangkit EBT harus dibangun 1,5-2,5 gigawatt setiap tahun. "Menurutnya saya EBT seharusnya diprioritaskan, bukan dikurangi," ujar Fabby.

Dia pun menjelaskan, investasi awal untuk membangun pembangkit EBT memang mahal. Tapi biaya operasional dan perawatan lebih murah dibandingkan pembangkit energi termal. 

"EBT seharusnya mendapat kemudahan, tapi kenyataannya tidak. Subsidi ke EBT tidak ada," ujar Fabby.

Terkait penciptaan lapangan kerja, lanjut Fabby, pengembangan EBT juga berpotensi besar. Hal ini bisa menjadi solusi saat ini di mana pengangguran naik akibat pandemi COVID-19.

Sementara itu, Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani mengungkapkan hal senada. Pengembangan dan penyebaran energi terbarukan di seluruh Indonesia akan membuka banyak peluang kerja. 

Artinya, pengembangan energi terbarukan tidak hanya menjadi salah satu sumber energi baru masa depan. Tapi juga  membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia. 

“Untuk memperoleh kebutuhan esensial, seperti air bersih dan sanitasi, akses informasi dan pendidikan, peningkatan ekonomi lokal, literasi keuangan, hingga ketahanan pangan, dan mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih bersih," kata Verena.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya