BI Waspadai Kenaikan Yield Obligasi AS, Bisa Ganggu Pasar Keuangan RI

Logo Bank Indonesia.
Sumber :
  • VivaNews/ Nur Farida

VIVA – Bank Indonesia (BI) memberikan peringatan terhadap potensi terus naiknya imbal hasil (yield) surat utang atau obligasi tenor panjang pemerintahan Amerika Serikat, yakni US Treasury tenor 10 tahun.

BNI Bakal Terbitkan Global Bond US$500 Juta, Jadi Incaran Investor Asing

Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Yoga Affandi mengatakan, yield US Treasury 10 tahun diperkirakan akan terus meningkat. Hal itu bisa mengganggu keseimbangan portofolio pasar keuangan Indonesia.

Baca juga: Anggaran PEN Naik Terus, Rupiah Menguat

BI Catat Modal Asing Kabur dari Indonesia Rp 1,36 Triliun

"(Yield US Treasury) ini diperkirakan terus meningkat," kata dia dalam diskusi virtual, Rabu, 24 Februari 2021.

Berdasarkan data BI realisasi imbal hasil obligasi AS tersebut telah ke posisi 1,24 persen. Sedangkan diperkirakan, kenaikannya akan terus terjadi hingga akhir tahun ini ke posisi 1,34 persen.

BI Pastikan Masyarakat di Lebaran 2024 Dapat Uang Baru

"Tetapi memang ada sedikit di financial market. Ini yang agak mengganggu yaitu kenaikan yield US Treasury, karena seiring dengan adanya optimisme perbaikan ekonomi AS," tegas Yoga.

Meski begitu, dia menganggap, kenaikan imbal hasil ini merupakan sesuatu yang wajar di tengah kondisi perekonomian AS saat ini. Karena itu, diproyeksikan tidak akan terlalu memengaruhi pasar keuangan Indonesia tahun ini.

"Kalau kita pelajari secara historis kita melihat kenaikan yield ini memang sesuatu yang wajar sehingga dia tidak akan mengubah path portfolio inflow. Kita harap tidak mengubah terlalu drastis tahun ini," tutur dia.

Akan tetapi, Yoga menjamin bahwa Bank Indonesia akan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan yield dari US Treasury tenor 10 tahun. Terutama terkait sifatnya apakah permanen atau tidak.

"Kita harus melihat perkembangan AS, apakah perkembangan yield US Treasury kenaikan baru-baru ini adalah bersifat temporer atau permanen. Atau dia digerakan nominal yield-nya atau riil yield-nya," ucapnya.

Pergerakan pertumbuhan ini menurutnya memiliki output kebijakan yang beda-beda dari otoritas di AS terutama bank sentral The Federal Reserve (The Fed) terkait kebijakan suku bunga Fed Fund Rate.

Jika tren yield ini tidak direspons oleh The Fed dengan memperketat Fed Fund Rate, maka dipastikannya aliran modal asing masih akan masih masuk ke Indonesia. Sehingga mendukung penguatan rupiah.

"Tapi kami mendengar dari Jarome Powell (Ketua The Fed) bahwa kebijakan akomodatif masih akan terus berlangsung. Sehingga ini melegakan dari sisi financial market setidaknya ini memberikan window of opportunity bagi stabilitas nilai tukar emerging market termasuk Indonesia," ungkapnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya