Pemerintah Diminta Tak Timpang Soal Regulasi Industri Hasil Tembakau

Petani menjemur daun tembakau di Sidomulyo, Senden, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

VIVA – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mencurigai adanya intervensi dari organisasi anti tembakau pada kebijakan pemerintah. Padahal, Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara dan petani sehingga butuh sikap adil pemerintah.

Polisi Gerebek Kamar Kos yang Produksi Tembakau Sintetis di Pesanggrahan Jaksel

Ketua APTI, Soeseno, mengatakan selama ini Industri Hasil Tembakau (IHT) telah menyumbang banyak pendapatan negara lewat cukai. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) per November 2020 mencapai Rp146 triliun.

“Pemerintah melihatnya juga harus balance. Jadi, tidak hanya berpihak semata-mata ke anti tembakau, tetapi juga harus melihat kepentingan tembakau. Sumbangan cukai juga besar, ya, pemerintah harus berimbang,” ujar Soeseno dalam keterangannya, dikutip Kamis 25 Maret 2021.

Sosialisasi Cukai Rokok di Jatim, Dari Talkshow Radio Hingga Sobo Kampung

Seperti diketahui, sejak beberapa waktu lalu, kampanye anti tembakau marak disuarakan oleh organisasi-organisasi anti tembakau seperti Bloomberg Philantropies, baik di Indonesia maupun dunia. 

Bahkan, di beberapa negara, seperti Filipina, organisasi ini ditengarai melakukan intervensi terhadap proses penggodokan regulasi yang berkaitan dengan IHT dengan menyalurkan sejumlah dana berbentuk hibah.

BI: Pertumbuhan Penjualan Eceran Februari 2024 Terkontraksi

Sedangkan di Indonesia, Soeseno mengatakan organisasi anti tembakau ini memasukkan agendanya untuk menggaungkan kampanye mereka dengan menyalurkan dana ke sejumlah pihak dan melakukan pendekatan melalui isu kesehatan. 

Salah satunya, kata dia, melalui peringatan bahaya dari merokok. Namun, peringatan-peringatan yang sering digaungkan tersebut dinilai tidak merata. Peringatan ini lebih banyak dilihat oleh masyarakat kelas menengah ke atas dan berat sebelah ke sudut pandang kepentingan tertentu, sedangkan masyarakat menengah ke bawah tidak terpapar informasi tersebut.

“Jelas, kalau gerakan anti tembakau itu dibiayai dari Bloomberg karena itu terbuka di situsnya. Gerakan mereka biasanya menjelang September itu sudah mulai resesif. Sudah mulai ramai,” tegas Soeseno.

Selain itu, Soeseno juga mewanti-wanti terkait proses pembahasan revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012. Dia meminta agar pemerintah bisa bersikap adil karena penerapan kebijakan yang bersifat berat sebelah berpotensi menjadi bumerang bagi para masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor IHT, mulai dari petani, pekerja atau buruh pabrik rokok, hingga para pedagang kecil.

“Pemerintah harus adil. Sampai sejauh ini, IHT terus mengalami penurunan. Ya kita melihat jangka panjang itu akan berdampak kepada serapan tembakau dari petani ke pabrikan, jangan hanya memihak pihak-pihak anti tembakau,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya