Tantangan Genjot Produk UMKM Tembus Pasar Ekspor, Potensinya Besar

Ilustrasi UMKM.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

VIVA – Perkembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terus digenjot Pemerintah selama pandemi COVID-19. Sebab di masa depan, UMKM bisa terbukti bisa diandalkan menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Rupiah Melemah ke Level Rp 16.192 Per Dolar AS, Investor Cermati Dinamika Konflik Timur Tengah

Selain untuk memenuhi pasar dalam negeri, perkembangan UMKM diharapkan juga diarahkan untuk memenuhi pasar internasional. Hal itu dinilai penting, sebab saat ini kontribusi produk UMKM hanya sekitar 4 persen dari total nilai ekspor Indonesia.

“Upaya globalisasi harus makin digencarkan terhadap 64 juta UMKM di Indonesia, karena angka tersebut mencapai 99 persen dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia,” kata Dr. Irma Indrayani, S.I.P., M.Si, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional, Jakarta, dikutip Sabtu 10 April 2021.

Alasan Citroen Masih Enggan Pasarkan Mobil Hybrid di Indonesia

Meskipun banyak juga yang rontok, menurut Irma, UMKM terbukti lebih mampu bertahan menghandapi hantaman Pandemi COVID-19 setahun terakhir. Bahkan kini banyak bermunculan UMKM-UMKM baru yang  merupakan peralihan model bisnis dari usaha besar ke UMKM, juga beralihnya gelombang orang-orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang beralih profesi menjadi pebisnis UMKM.

Baca juga: LPS Pertimbangkan Hapus Premi Penjaminan, Ini Syaratnya

Deretan Negara yang Ternyata Penduduknya Paling Cepat Meninggal di Dunia

“Saat ini total ada sekitar 12.234 UMKM eksportir atau sekitar 83 persen dari jumlah eksportir,” terang Irma.

Namun, Irma mengatakan, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi UMKM untuk menembus pasar global. Di antaranya perubahan bisnis dari konvensional menjadi digitalisasi, pengendalian inflasi yang berpengaruh terhadap harga produk UMKM dan daya beli masyarakat, akses pasar terutama untuk masuk ke platform digital.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Ekonomi Agus Muharram, mengakui, meskipun jumlah UMKM sangat besar namun kontribusinya terhadap ekspor sangat rendah. Dibanding, Singapura, Malaysia, Thailand, atau Jepang yang mencapai.

Hal ini, lanjut Agus, bukan saja karena masalah kualitas produk atau masalah marketing. Namun juga karena rendahnya tingkat kemitraan pelaku UMKM.

Agus menekankan, kemitraann sangat diperlukan tidak saja untuk menekan biaya produksi tetapi juga untuk memperluas akses ke pasar global. "93 persen UMKM tidak melakukan kemitraan," tambahnya. 

Agus yang mantan pejabat Kemenkop UKM itu menilai kebijakan Pemerintah terhadap UMKM sudah tepat. Saat ini tinggal bagaimana UMKM memanfaatkannya untuk memperkuat kualitas produknya dalam menembus pasar ekspor.

Human Capital Division Head di PT Sucofindo Soleh Rusyadi Maryam menjabarkan, mengutip data ekspor Kementerian Perdagangan dari 2016-2020 mengingatkan perlunya UMKM memilih fokus produksi yang didorong untuk menembus pasar ekspor.

Dia menjabarkan, produk UMKM pangan olahan, hasil perkebunan, olahan hasil hutan, furnitur, kerajinan, perhiasan, hasil tenun rakyat, garmen dan aksesoris garmen, dan alas kaki. Merupakan produk yang terbukti memiliki pasar luar, dan kontribusinya selama ini terhadap ekspor Indonesia cukup besar.

“Ada 20 negara yang selama ini jadi tujuan ekspor produk tersebut mulai dari China, AS, Jepang, India, Singapura, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Australia, hingga Hongkong, Italia, dan Spanyol,” ungkap Soleh.

Untuk bisa terus meningkatkan ekspor tersebut menurut Soleh, pendampingan Pemerintah penting diberikan. UMKM harus didukung sejak mulai dari masalah legalitas/perizinan, asesmen pasokan, pengembangan produk dan pengembangan kemasan produk, sertifikasi/labelisasi produk, branding/promosi, transaksi dan pengiriman, hingga masalah relasi dengan relasi dengan pelanggan.

“Harus didampingi dari mulai hilir hingga ke hulunya,” tegas Soleh. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya