Transaksi Triliunan, Ini Tantangan Bisnis Emisi Karbon di Indonesia

Cerobong asap di pabrik peleburan baja di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – Di tengah gencarnya upaya banyak negara di dunia mengantisipasi perubahan iklim, bisnis bisnis jual beli emisi karbon atau carbon trading pun menjadi tren global saat ini.

IPK 2,77 dan Lulusan ITB, Ridwan Kamil: Saya Pasti Enggak Bisa Kerja di KAI, tapi Buktinya...

Sebagai informasi, perdagangan karbon merupakan kegiatan jual-beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Nilai transaksinya pun tidak main-main, hingga ratusan triliun per tahunnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal 2020 pun pernah menyatakan, potensi pendapatan tambahan dari transaksi jual-beli sertifikat emisi karbon Rp350 triliun. Merespons hal tersebut, Pemerintah Indonesia disebut telah menyiapkan aturan dalam bentuk Peraturan Presiden.

BRI Cetak Laba Rp 15,98 Triliun di Kuartal I-2024, Penyaluran Kredit Tembus Rp 1.308 Triliun

Baca juga: Kementerian Investasi Perlu Peran Fiskal untuk Tarik Investor Spesifik

Chief Executif Officer Landscape Indonesia, Agus P Sari menyebutkan, terdapat 2 sektor potensial yang dimiliki Indonesia dan bisa dikembangkan untuk menyambut era perdagangan karbon. 

Suku Bunga BI Naik Diproyeksi Topang Penguatan IHSG, Cek Saham-saham Berpotensi Cuan

“Sektor lahan dengan subsektor gambut dan mangrove. Kedua, sektor energi,” katanya dalam webinar Earth Day Forum 2021, Rabu 21 April 2021.

Namun Agus menilai, sejumlah tantangan masih menjadi batu sandungan penerapan perdagangan jenis ini. Khususnya terkait landasan peraturan yang dimiliki Pemerintah saat ini. Hal tersebut sangat penting agar perdagangan karbon dapat memberikan keuntungan maksimal bagi negara.

Dia menegaskan, Pemerintah harus segera menindaklanjuti tantangan tersebut. Sebab, debirokratisasi dengan melihat karbon ini sebagai komoditas baru, membuat bisnis tersebut masih harus tunduk pada aturan pasar saat ini.

“Kita masih menunggu dua hal. Keputusan yang akan menjadi rulebook mengenai pasar karbon secara global, dan Perpres yang mengatur mengenai pasar karbon di Indonesia,” ungkapnya.

Hal lain yang harus jadi perhatian Pemerintah adalah terkait transparansi rantai pasok dan investasi terkait perdagangan karbon. Regulasi pemerintah yang jelas akan menarik investor.

Saat ini menurutnya, perdagangan karbon selama ini dijalankan melalui beberapa mekanisme. Di antaranya Clean Development Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto dan Joint Credit Mechanism (JCM). Geliat bisnis perdagangan karbon pun semakin menguat setelah adanya Perjanjian Paris 2015.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Geo Dipa, Ricki Ibrahim mengungkapkan, selama ini CDM dijalankan melalui mekanisme offset, yakni pihak pembeli memperoleh kredit Certified Emission Reduction (CER) dari proyeknya. Mirisnya, CDM selama ini hanya dinikmati developer asing.

“Persiapan regulasi dan konsultasi harus ada. Dari segi konsultan misalnya, kami dulu harus mengeluarkan biaya lebih US$2 juta untuk menyewa dari luar (asing), dan ini menyedihkan,” kata dia.

Ricky menambahkan, keseriusan Pemerintah menuju transisi energi diuji saat ini. Sebab, perdagangan karbon bisa menjadi pelengkap dari upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Sebagai bentuk upaya win-win solution, menurut dia, Pemerintah hendaknya menyatukan regulasi untuk mempermudah implementasi di lapangan. Sehingga hasilnya bisa optimal memberi manfaat kepada masyarakat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya