Sistem Cukai di RI Masih Punya Banyak Celah Penghindaran

Rokok
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Sistem tarif cukai hasil tembakau di Indonesia yang saat ini diatur dengan banyak golongan dinilai menciptakan celah bagi perusahaan rokok untuk menghindari pajak. Terutama di negara-negara yang menganut sistem multigolongan atau berjenjang.

Kenaikan Tarif Cukai Disarankan Moderat Menyesuaikan Inflasi agar Tidak Suburkan Rokok Ilegal

Direktur Tobbaconomics sekaligus Peneliti dari University of Illinois di Chicago Profesor Frank J. Chaloupka mengungkapkan, ini terjadi pada sistem tarif cukai di Indonesia dan di beberapa negara di Asia Tenggara lainnya.

“Ada peluang penghindaran pajak dari sistem tarif berdasar strata karena banyaknya golongan yang bergantung pada jumlah produksi,” ujarnya dalam webinar, Rabu, 19 Mei 2021.

Rokok Ilegal Makin Marak, Kenaikan Cukai Dinilai Tak Efektif Kendalikan Konsumsi

Baca juga: Pemkot Malang Lunasi Utang Guru TK yang Diteror Debt Collector Pinjol

Chaloupka mengatakan, sistem tarif golongan ini menciptakan peluang bagi industri untuk membayar pajak yang lebih murah, misalnya dengan membentuk perusahaan rokok yang lebih kecil.

Zulhas Enggan Revisi Aturan Barang Bawaan dari Luar Negeri: Bayar Pajak Dong!

“Jadi saya pikir itulah salah satu kelemahan dari sistem tarif cukai yang berdasarkan golongan, sistem ini menciptakan celah dan peluang bagi industri untuk mencoba menghindari pajak dengan bermain di jumlah produksi,” katanya.

Sementara itu, peneliti kebijakan publik sekaligus Sekjen Transparency International Indonesia Danang Widoyoko menjelaskan kelemahan sistem tarif cukai tembakau yang kompleks. Oleh sebab itu, sistem cukai ini dianggap perlu disederhanakan.

“Penting melakukan penyederhanaan struktur tarif cukai untuk menutup celah penghindaran pajak.” katanya dalam diskusi virtual di kesempatan terpisah.

Danang berharap pemerintah dapat mengatur kembali klasifikasi industri rokok dengan cara tidak lagi berdasarkan jumlah produksi batang per tahun. Melainkan, didasari atas skala usahanya.

“Catatannya, skala industri mengapa tidak menggunakan undang-undang UMKM, artinya industrinya itu sama seperti sektor lain dihitung dari skalanya, bukan jumlah produksinya,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya