Tax Amnesty Jilid II, HIPMI Ingatkan Potensi Melebarnya Gini Ratio

Antusiasme wajib pajak di hari terakhir tax amnesty pada tahun 2016.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengkritisi rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Program ini digulirkan seiring dengan adanya perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sambut Putusan MK, Ketum Hipmi: Proses Pilpres Berakhir, Kini Saatnya Bangun Ekonomi Bangsa

Program ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat mengabarkan bahwa Presiden Joko Widodo telah berkirim surat ke DPR untuk membahas revisi UU tersebut dan di dalamnya termasuk adanya program tax amnesty lanjutan.

"Ini mengingatkan kita dengan UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang waktu itu berlaku pada 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017," kata Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI Ajib Hamdani, dikutip dari siaran pers, Senin, 24 Mei 2021.

Saham Bumi Resources Meroket Usai Umumkan Rencana Kuasi Reorganisasi, Ini Penjelasan Manajemen

Baca juga: IHSG Diprediksi Menguat, Intip Saham-saham Pilihan di Awal Pekan

Menurut Ajib, program pengampunan pajak tersebut pada dasarnya sangat erat dengan ketidakadilan, sebab program ini memberikan insentif terhadap mereka yang tidak patuh membayar pajak. Ini menurutnya merugikan bagi para wajib pajak yang patuh.

Hipmi Harap Prabowo-Gibran Berkolaborasi dengan Pengusaha Muda Dalam Pembangunan

"Karena pada prinsipnya kebijakan pengampunan ini diperuntukkan untuk orang atau pihak yang salah kemudian mendapat fasilitas. Sehingga, wajib pajak yang sebelumnya merasa patuh, akan merasa rugi dan tidak adil," ujarnya.

Selain itu, dia melanjutkan, program ini juga berpotensi melebarkan rasio gini karena kelas menengah atau atas yang mempunyai aset yang akan semakin menggelembung. Aset-aset tersebut akan terdata sehingga terkuat data yang disebutnya sebelumnya tersembunyikan.

"Angka gini ratio yang sementara di kisaran 0,38 berpotensi merangkak naik. Apalagi dalam masa pandemi, dimana para UKM sedang mengalami tekanan berat dan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan di kelas bawah, karena daya beli yang terus terkonstraksi," tutur dia..

Meski begitu, dia memahami, saat ini pemerintah perlu kebijakan yang mampu menambal defisit fiskal  yang kian melebar. Pada 2020 terjadi defisit APBN sebesar 6,1 persen dari PDB dan pada 2021 diproyeksikan masih terjadi defisit kisaran 5,7 persen.

"Tahun 2023, Keuangan Negara maksimal hanya bisa defisit maksimal 3 persen dari PDB. Dibutuhkan kebijakan terobosan untuk bisa membuat tren penurunan defisit ini, baik secara kebijakan ekonomi maupun kebijakan politik," tegas Ajib.

Tax amnesty menurutnya juga bisa menjadi salah satu sumber aliran likuiditas. Pada tax amnesty jilid I dana repatriasi Rp147 triliun dan deklarasi harta sebesar Rp4.813,4 triliun. Dengan persiapan yang lebih matang, tax amnesty jilid II bisa memberi hasil lebih maksimal.

Selain itu, Ajib melanjutkan, kebijakan tax amnesty ini sebenarnya juga sering diberikan oleh pemerintah daerah untuk konteks pajak daerah misalnya pemutihan pajak kendaraan bermotor hingga diskon pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB).

"Tax Amnesty level daerah ini misalnya pemutihan pajak kendaraan bermotor, diskon pembayaran PBB, dan lain. Dengan kontroversi yang ada, secara kepentingan nasional, tax amnesty jilid II menjadi sebuah alternatif kebijakan yang layak dilanjutkan," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya