Komitmen Pengurangan Emisi, RI Butuh Rp343 Triliun Tiap Tahun

Ilustrasi emisi karbon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan memastikan bahwa sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement malalui Undang-undang Nomor 16 tahun 2016, Indonesia telah menyampaikan komitmennya melalui Nationally Determined Contributions (NDCs).

Indonesia Penghasil Emisi Karbon Terbesar di Dunia, Tanam Lebih Banyak Mangrove Bisa Jadi Solusinya

Direktur Utama BPDLH, Djoko Hendratto menjelaskan, komitmen NDC itu terkait pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan Internasional.

Dia menambahkan, berdasarkan estimasi kebutuhan pendanaan untuk implementasi NDC, Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$247 miliar atau sekitar Rp3.461 triliun untuk periode 2018-2030 sesuai dengan dokumen Second Biennial Update Report 2018.

Pj Bupati Purwakarta Ingatkan Integritas ASN dan Mitigasi Wabah DBD

"KLHK mengestimasi kebutuhan Indonesia untuk mencapai target NDC setiap tahun adalah sebesar Rp343,32 triliun. Merujuk pada pendanaan APBN yang disediakan untuk perubahan iklim, berdasarkan data budget tagging tahun 2019 dan 2020," kata Djoko dalam telekonferensi, Kamis 27 Mei 2021.

Djoko menjelaskan, dengan merujuk pada kebutuhan per tahun dan data budget tagging tersebut, maka masih terdapat gap yang cukup besar yakni sekitar 60-70 persen dari total kebutuhan dananya. 

Hari Kedua Pasca-Libur Lebaran, Kualitas Udara di Jakarta Terburuk Kelima di Dunia

Salah satu upaya konkret pemerintah untuk mendukung pendanaan NDC atau pendanaan lingkungan hidup secara umum, adalah pembentukan Indonesian Environment Fund (IEF) atau yang disebut Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada tahun 2019.

Badan ini merupakan Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan, yang pengelolaannya menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, prudent, profesionalisme, dan didesain dengan menerapkan standar tata kelola internasional. 

Sesuai dengan dasar pembentukannya, IEF dibangun untuk mendukung program-program pengelolaan lingkungan hidup strategis, yang berada di Kementerian/Lembaga. IEF berperan sebagai trustee bagi pemilik dana/program, dan bekerja berdasarkan pada mandat yang diberikan oleh K/L selaku pemilik program dan juga mandat yang diberikan pemilik dana. 

"Kewenangan teknis dan pelaksanaan program tetap berada pada Kementerian/Lembaga teknis sebagai pemilik program," ujar Djoko

Dia menambahkan, pengelolaan dana lingkungan hidup oleh IEF dilaksanakan berdasarkan kontrak antara IEF dan pemilik dana/program, dimana pengeluaran dana oleh bank trustee/custodian dilakukan berdasarkan perintah IEF. IEF memegang aspek legalitas dari pemilik dana yang diletakkan pada bank custodian dan/ atau bank trustee, dan menyalurkan manfaat kepada penerima manfaat sesuai mandat.

"IEF dapat digunakan sebagai vehicle untuk mobilisasi berbagai sumber pendanaan guna mengatasi gap pendanaan iklim yang ada, dan bisa menerapkan 'blended scheme' dengan berbagai sumber pendanaan untuk mendukung program-porgram Kementerian/Lembaga secara berkelanjutan," kata Djoko.

"IEF selain mengelola dana reboisasi yang disalurkan dengan skema dana bergulir, juga dimandatkan untuk mengelola dana hibah dari kerja sama bilateral dan multilateral. Pendanaan inovasi juga perlu dieksplorasi oleh EIF untuk menciptakan income stream bagi IEF, seperti inovatif pendanaan berbasis sumber daya alam/karbon," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya