Dampak Tak Terukur, Harga Gas US$6 per MMBTU Harus Dievaluasi

Petugas PT Perusahaan Gas Negara (PGN) (Persero) Tbk mengganti alat ukur (meteran) jaringan gas industri
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA – Kebijakan penetapan harga gas untuk tujuh industri sebesar US$6 per Million British Thermal Unit (MMBTU) telah dilakukan lebih dari satu tahun. Kondisi tersebut dinilai belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian. 

Dukung Stabilitas Politik, Kadin Indonesia Hormati Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

Wakil Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia, Achmad Widjaja mengatakan sudah lebih dari setahun harga gas US$6 per MMBTU. Tapi, tujuh industri itu belum lakukan inovasi, meningkatkan daya saing dan beri multiplier effect seperti yang diharapkan. 

"Ini sudah setahun, apa yang dikerjakan, mana hasilnya. Kita harus ekspansi, kalau enggak kita balik lagi jalani bisnis as usual,” ujar Achmad kepada media, dikutip Kamis 10 Juni 2021. 

Indonesian Economy Has Strength to Face Middle East Crisis

Diketahui, kebijakan harga gas sebesar US$6 per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi

Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Kepmen ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. 

Anindya Bakrie: Ekonomi RI Kuat Hadapi Krisis Timur Tengah

Dalam Kepmen 89 ESDM itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus US$6 per MMBTU yakni Industri Pupuk, Petrokimia, Oleokimia, Baja, Keramik, Kaca dan Industri Sarung Tangan Karet. Dari aturan itu, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024. 

Untuk itu, Acmad menilai evaluasi harga gas ini perlu dilakukan sesegera mungkin, dan tidak perlu menunggu sampai 2024. Sebab, jika kebijakan ini diberlakukan terlalu lama tanpa memberi dampak ekonomi yang sepadan, maka negara akan semakin dirugikan. 

Selain itu, untuk mengurangi potensi kerugian negara, Achmad meminta Kementerian ESDM mengawasi industri-industri mana saja yang sudah memanfaatkan fasilitas gas murah tersebut, dan mana yang belum. 

“Menteri Perindustrian harus tagih ke para industriawan, mana programnya untuk inovasi dan daya saing,” kata Achmad. 

Selain Kementerian Perindustrian, stakeholder terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan juga perlu duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini. 

Sedangkan, Pengamat Energi Mamit Setiawan sependapat dengan Kadin. Harga gas untuk industri tertentu yang akan diberlalukan sampai 2024 harus segera dievaluasi. 

"Saya tidak melihat ada multiplier effect dari kebijakan harga gas ini. Yang terjadi justru beban yang ditanggung badan usaha menjadi semakin besar," ujarnya kepada media, Kamis 10 Juni 2021. 

Mamit menambahkan, untuk mengukur dampak dari kebijakan tarif ini sebenarnya mudah. Hal itu dapat diukur dari kinerja produk ketujuh industri yang mendapat perlakuan khusus tersebut. 

Misalnya penjualannya apakah meningkat, pendapatannya apakah meningkat, termasuk di dalamnya serapan tenaga kerja baru dan dampaknya terhadap pembayaran pajak kepada negara. 

"Sehingga pemerintah perlu menagih kepada tujuh industri ini apakah target yang diinginkan pemerintah sudah tercapai atau belum. Apalagi kabarnya kebijakan ini bakal di perluas ke industri lain," tegas Mamit.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya