Pengembangan EBT Berisiko Tambah Beban APBN, Ini Penjelasannya

Ilustrasi energi terbarukan.
Sumber :
  • Inhabitat

VIVA – Pemerintah dan DPR sedang berupaya mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dengan mempersiapkan dua payung hukum secara hampir bersamaan. Yakni, Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dan revisi Permen ESDM Nomor 49/2018 soal Penggunaan Sistem PLTS Atap.

HKTI Usulkan HPP Gabah Naik Jadi Rp6.757

Kedua dua aturan yang dinilai dapat memukul keuangan negara. Bahkan, mengguncang keuangan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN, serta merugikan masyarakat. Sebab, pada salah satu pasal di RUU EBT yang sedang digodok, PLN diwajibkan membeli atau menyerap listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi terbarukan.

Selain itu, anggaran negara juga akan kian terbebani karena salah satu pasal pada RUU EBT menyebutkan bahwa negara akan membayar kelebihan selisih biaya pokok produksi listrik dan harga jual dari energi terbarukan.

Negara Ini Tuduh Iran sebagai Negara Teroris, Kok Bisa?

Kemudian, pada revisi Permen ESDM No 49/2018 juga PLN akan dikenai skema tarif ekspor-impor net-metering listrik sebesar 1 banding 1. Artinya, tidak ada selisih tarif yang akan menjadi sumber pendapatan PLN di saat menerima, menyimpan, maupun menyalurkan kembali listrik dari PLTS Atap milik konsumen. 

Dengan ketentuan itu PLN berpotensi merugi karena di saat yang sama harus mengeluarkan biaya investasi untuk penyimpanan, jaringan distribusi, hingga SDM.

Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Pekerjaan Kian Parah di Tiongkok

Ekonom Indef Abra Talattov menilai, RUU EBT memiliki implikasi terhadap ruang fiskal ke depan karena menambah beban kompensasi yang harus ditanggung negara. Hal itu akan menjadi beban baru, mengingat saat ini anggaran Pemerintah tengah menghadapi normalisasi defisit fiskal.

“Tentu ini akan menjadi perdebatan serius juga ke depan, artinya nanti akan ada pos-pos belanja lain yang harus dikorbankan dan dialihkan untuk menutup anggaran pengembangan EBT ini," kata Abra dalam webinar RUU EBT Berpeluang 'Memukul' Keuangan Negara, dikutip Sabtu 11 September 2021.  

Dia pun menilai, draf RUU EBT yang sedang disiapkan justru sangat kental dengan adanya intervensi pemerintah untuk mendorong transisi energi. 

“Nah kita mendukung burden sharing antara pemerintah dan non pemerintah. Tetapi bentuk-bentuk konkretnya seperti apa? Nah ini kan yang perlu dielaborasikan di draf RUU tadi?” katanya.

Jangan sampai, lanjutnya, Indonesia hanya menjadi pasar dalam aksi pengembangan EBT global ke depan. Abra mengingatkan, untuk saat ini saja, dengan rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) green infrastructure, Indonesia telah menjadi target pasar.

Baca juga: Menteri Teten Tegaskan Digitalisasi UMKM Bukan Hanya Soal Omzet Naik

“Kita bisa menyimpulkan bahwa untuk saat ini, yang diuntungkan memang negara-negara produsen, penghasil teknologi dan infrastruktur dari sumber energi terbarukan. Nah kita menjadi objek atau menjadi pasar,” katanya.

Sementara itu, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto mengungkapkan, APBN seyogyanya hanya digunakan sebagai pemantik. 

Misalnya hanya merancang kebijakan berupa kerangka pendanaan, kerangka regulasi dan kerangka teknis terkait. Dengan penyiapan tenaga kerja, kebutuhan rantai pasok industri manufaktur pendukung energi terbarukan dalam negeri, serta penetapan tarif yang pro pengembangan energi terbarukan.

"Swasta dapat berperan melalui berbagai skema pembiayaan inovatif yang telah disiapkan oleh pihaknya. Di antaranya skema financing, kerja sama government-badan usaha, dan crowdfunding atau urun dana," ucapnya. 

Adapun menurut Arifin, RUU EBT yang menjadi inisiasi lembaga legislatif saat ini masih dibahas di DPR. Dia menyebutkan bahwa proses pembahasan formal antara DPR dan pemerintah belum dimulai.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebutkan bahwa transisi energi memiliki tujuan yang positif. Hal itu sudah menjadi komitmen pemerintah dan sudah ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), juga sudah diratifikasi pada Paris Agreement. 

Namun demikian, dia mengingatkan adanya risiko fiskal dalam draft RUU EBT yang sedang dipersiapkan oleh DPR, serta pada draft revisi Permen ESDM No 49/2018 demi mendorong percepatan transisi energi ke energi baru dan terbarukan. 

Oleh karena itu, ujarnya, perlu koordinasi antara kementerian teknis serta Kementerian Keuangan yang mengatur soal anggaran negara.

“Yang perlu kita sadari bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan aspek lingkungan harus balance. Biasaya negara-negara di dunia akan fokus pada pertumbuhan, setelah titik tertentu baru fokus pada lingkungan," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya