Polemik Data Jagung Surplus Saat Harga Mahal, Ini Dia Masalahnya

Petani menjemur jagung di Kecamatan Moncongloe, Maros, Sulawesi Selatan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Arnas Padda

VIVA – Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) memberikan penjelasan terkait tingginya harga jagung di tengah data jagung Kementerian Pertanian yang dikabarkan surplus hingga 2,3 juta ton di Indonesia.

JK Sebut Golkar Partai Terbuka, Tak Masalah Jika Jokowi-Gibran Gabung

Direktur PATAKA, Ali Usman menyatakan, data yang disajikan kementerian tersebut tidaklah berdasar. Apalagi Presiden Joko Widodo sampai diteriaki peternak layer, Suroto, karena harga jagung mahal di Tanah Air.

"Surplus sebesar 2,37 juta ton oleh Kementan tidak mendasar di tengah melambungnya harga jagung mencapai Rp6.200 per kg," kata dia melalui keterangan tertulis, Rabu, 22 September 2021.

Moeldoko: Otonomi Daerah Harus Lanjutkan Pembangunan Visi Jokowi

Baca juga: Menteri Basuki: Refocusing Anggaran PUPR 2021 Lampaui Target Serapan

Meskipun presiden telah menurunkan harga jagung ke Rp4.500/kg khusus ke peternak layer. Tetapi, dia menekankan per 21 September 2021 realisasi bantuan harga jagung wajar tersebut tersalurkan hanya 1.000 ton dari 30.000 ton yang dijanjikan presiden.

Bakal Hijrah ke IKN, Presiden Prabowo dan Wapres Gibran Pakai Mobil Dinas Listrik?

"Sedangkan Kementan masih bersikukuh bahwa jagung surplus, tetapi harga jagung masih tinggi diberbagai daerah terutama di Sumatera, Jawa, NTB, Kalimantan dan Jawa," papar dia.

Ali menganggap, Kepala Negara pada dasarnya baru mengetahui masalah jagung yang mahal, termasuk sebagai bahan baku makanan ternak dari aksi nekat  Suroto membentangkan poster di Blitar sehingga di undang ke Istana Merdeka. 

"Dia kira harga jagung baik-baik saja karena Kementan surplus. Munculnya fenomena Suroto adalah momentum menyadarkan Kementerian Pertanian bahwa desas-desus surplus jagung harus segera di akhiri," ujarnya.

Dia pun mengusulkan guna mendapat data supply-demand dan neraca jagung nasional yang tepat, harus dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPs) tidak lagi diklaim sepihak oleh Kementerian Pertanian. 

"Karena itu, ego sektoral lembaga harus dibuang jauh-jauh, seharusnya Kementan koordinasikan ketika ada masalah sehingga terjadi harmonisasi petani-peternak yang merupakan bagian penggerak ekonomi negara," paparnya.

Kedunya, menurut Ali saling membutuhkan dan tidak bisa saling menekan harga. Oleh sebab itu inilah momentum harmonisasi stakeholder perunggasan layer baik petani, peternak, pelaku usaha jagung, distributor jagung dan industri pakan. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya