Soal RUU EBT, DPR Nilai Insentif Tarif Berpotensi Bebani APBN

PLTS.
Sumber :
  • Dokumentasi Pertamina.

VIVA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan atau EBT dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik. Sebab, tanpa kejelasan itu insentif yang diberikan dapat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

PLN Indonesia Power Kebut Pembangunan PLTS 500 MW dari Proyek Hijaunesia

Anggota Komisi VII DPR RI Anwar Idris mengatakan pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil. 

Menurutnya, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah. "Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujarnya dalam Seminar bertajuk Menyoal Subsidi Listrik dalam RUU EBT, dikutip Sabtu 25 September 2021.

Percepat Pengembangan Energi Hijau 'Raksasa' di Sulawesi, PLN Bersinergi dengan China Energy

Baca juga: Soal Revisi PLTS Atap Bisa Bebani APBN, Pemerintah Perlu Alternatif

Selain itu, Anwar mengungkapkan di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan energi ini harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.

Lantik Eniya Listiani Dewi Jadi Dirjen EBTKE, Menteri ESDM Perintahkan Percepat RUU EBET

Sementara itu, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik. Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta itu boleh, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku. 

Sayangnya, kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.

Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

Di tengah kondisi ini, karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.

Padahal, saat ini, PLN tengah dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan atau oversupply. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari demand baru demi menyerap listrik. 

Sekadar informasi, saat ini daya mampu listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.

"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.

Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin parah ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang over supply atau berlebih. 

Tahun depan, tambahan beban dari listrik TOP pada saat kondisi over supply ini dapat mencapai puluhan triliun rupiah, dan itu akan makin membengkak akibat penjadwalan atau perencanaan di saat pelemahan perekonomian seperti sekarang.

"Cegahlah RUU EBT agar tidak terperosok pada lubang persoalan, mengulang persoalan-persoalan sebelumnya. Selagi RUU EBT masih dalam pembahasan, maka hilangkanlah segala pintu atau celah yang dapat digunakan untuk membuat PLN wajib membeli listrik produksi swasta tanpa memperhatikan kondisi sistem kelistrikan," ujarnya.

Adapun soal penentuan harga, penerapan feed in tariff (FiT) sudah tidak relevan dan kadaluarsa. Menurutnya, penerapan FiT tanpa insentif bagi industri rantai pasok kelistrikan itu berarti mengabaikan prinsip transisi energi khas Indonesia, yang diatur dalam UU No. 17/2007 tentang RPJPN atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya