Keberlanjutan Energi Wajib, Tapi Kepentingan Nasional Lebih Penting

Pekerja melakukan pemeriksaan konduktor Sutet di Arcamanik, Bandung, Jawa Barat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA – Target pemerintah dalam bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 23 persen pada 2025 diharapkan tidak memberikan beban pada keuangan negara. Pemerintah juga sebaiknya memprioritaskan kepentingan nasional dalam melakukan strategi transisi energi nasional.

Bertemu Tony Blair, Menko Airlangga Bahas Inklusivitas Keuangan Hingga Stabilitas Geopolitik

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra El Talattov mengatakan transisi ke energi bersih memang perlu dukungan karena sudah menjadi komitmen global. Tapi, pemerintah harus tetap mempertimbangkan kondisi pasokan listrik yang sedang berlebih. 

"Kita semua pasti memiliki dukungan ke arah transisi energi, tapi kita juga harus objektif melihat secara utuh, seperti apa kondisi faktual, dalam konteks dinamika energi di Indonesia,” ujar Abra di Jakarta, dikutip Jumat, 1 Oktober 2021. 

Stafsus Bantah Erick Thohir Perintahkan BUMN Borong Dolar AS, Ini Penjelasannya

Baca juga: Kangen Liburan? Yuk Cuci Mata dengan Panorama Indah di Jalan Tol Ini

Menurut dia, berkaca pada kondisi saat ini daya mampu listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, sehingga ada cadangan berlebih hingga 18 GW. Lalu, kapasitas listrik akan semakin bertambah seiring dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam proyek 35.000 megawatt.

Erick Thohir: Arahan Saya ke BUMN Beli Dolar Secara Optimal, Terukur, dan Sesuai Kebutuhan

Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply dan demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis EBT. Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena skema Feed in Tariff. 

"Ini kemudian jadi pertanyaan, dari sisi EBT dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) ketika EBT baru jadi sekitar 52 persen dari awalnya 31 persen. Nah kalau EBT mau di-push, bagaimana dari fosil?" jelasnya.

Ia pun kembali meminta pemerintah mengingat risiko BUMN ataupun APBN dalam beberapa tahun terakhir. Di mana subsidi energi tumbuh 8,6 persen per tahun dan pada 2022 mencapai Rp134 triliun belum termasuk bicara kompensasi.

Dengan demikian, ia meminta pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi, perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang. 

"Jangan sampai menimbulkan beban baru. Kita anggap mampu beralih ke EBT, tapi nyatanya kita belum se level ke negara-negara lain. Di sisi global, bauran EBT global 12 persen, kenapa ambisi kita lebih dari situ?," katanya.

Abra juga mengingatkan, negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengkampanyekan EBT pun, saat ini kembali menggunakan PLTU batu bara di tengah krisis energi.

Ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. Kepentingan nasional lebih penting sehingga komitmen EBT di nomor duakan. Karena ini berhubungan dengan ketahanan energi. Begitu juga di China.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya