Penerapan Pajak Karbon Kala Batu Bara Mahal Bisa Rontokan Industri

Ilustrasi karbon
Sumber :
  • ANTARA

VIVA – Disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) oleh DPR menandakan bahwa emisi karbon resmi dipajaki Pemerintah Indonesia. Aturan itu berlaku 1 April 2022 dan tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp30 per kilogram.

Menkominfo Sebut Pemerintah Segera Bentuk Satgas Atasi Darurat Judi Online

Sejumlah sektor seperti industri semen dan PLTU sangat terdampak dengan pengenaan pajak karbon ini. Sebab, keduanya dinilai paling banyak menghasilkan karbon karena penggunaan batu bara sebagai bahan bakar untuk proses produksi.

Namun, merujuk data Domestic Market Obligation (DMO) batubara Kementerian ESDM, banyak industri di Indonesia kini telah berbasis batu bara yang menghasilkan karbon. Seperti industri kertas, tekstil, kimia, pupuk, pengolahan dan pemurnian, dan industri kimia lainnya. 

Profil Putri Isnari, Pedangdut yang Dilamar Anak Pengusaha dengan Uang Panai Rp2 M

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengungkapkan, pengenaan pajak karbon saat ini semakin membuat ongkos industri di Tanah Air membengkak. Apalagi, harga bahan baku batu bara yang saat ini masih berada di atas US$200 per ton. 

“Permasalahan ini bukan hanya dihadapi oleh industri tekstil saja, tapi semua industri yang ada di Indonesia. Kondisi inilah yang membuat kami belum siap dengan pemberlakuan pajak karbon yang sangat mendadak, terlalu dipaksakan dan terburu-buru itu,” ujar Jemmy dikutip dari keterangannya, Senin, 11 Oktober 2021.

Potret Putri Isnari yang Geger Dilamar Anak Pengusaha Batu Bara

Jemmy menegaskan, untuk membahas pajak karbon ini butuh waktu panjang, tidak bisa parsial, apalagi singkat. Sebab, banyak industri yang akan terdampak pemberlakuannya.

“Pemerintah harus duduk bareng bersama asosiasi-asosiasi industri, pelaku industri, Kadin dan stakeholders lainnya  membahas permasalahan ini. Ini kan sangat terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan suara kami,” ujar Jemmy.

Dengan kondisi saat ini, dia menegaskan, industri di Indonesia sedang terkeok-keok terkena pukulan bertubi-tubi. Belum lepas dari pandemi COVID-19 yang membuat pendapatan usaha anjlok, harga batu bara melonjak, biaya logistik juga naik seiring dengan tingginya rantai pasok selama pandemi, naiknya PPN dan PPh, dan kini muncul pajak karbon.

Jika tetap dipaksakan, Jemmy khawatir akan banyak industri yang rontok di mana ujung-ujungnya akan menambah pengangguran karena Pemutusan Hubungan Kerja. 

“Karena itu, kami semua, asosiasi-asosiasi industri di Indonesia mendesak agar peraturan pajak karbon ini ditunda atau bila perlu dibatalkan,” tegasnya. 

Pajak karbon ini tampaknya mendorong penolakan di kalangan pelaku bisnis di semua sektor industri. Selain tarif, waktu pelaksanaan pada April 2022 dinilai terlalu ambisius.

Baca juga: Ekspor Garmen Naik, Jokowi Minta Perbankan Permudah Akses Permodalan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menegaskan, perlu adanya roadmap yang jelas terkait implementasi pajak karbon ini. Senan, kebijakan ini tidak bersifat sesaat saja, tapi dalam jangka panjang. 

“Apakah pemerintah akan membantu dari sisi komponen ongkos produksi yang lain ataukah memberikan pasar yang lebih luas dengan cara mengurangi persaingan dengan barang impor,” ujarnya. 

Misalnya industri tekstil, selama ini ongkos produksi sudah tinggi. Namun, di sisi hilir, banyak bersaing dengan produk-produk dari luar karena tarif impornya yang rendah. Nah, 

“Apakah dari sisi hilirnya yang akan di intervensi oleh pemerintah misalnya tarif impor untuk serupa dari luar negeri di naikan sehingga industri produk jadi dalam negeri  lebih bersaing ataukah ada yang lain,” ujarnya.

Terkait desakan agar pajak karbon ditunda atau dibatalkan, Faisal lebih melihat kondisi industri sampai dengan saat ini. Setidaknya ada solusi atau alternatif yang diberikan Pemerintah agar kebijakan tersebut tidak memukul atau bahkan mematikan industri tersebut. 

"Yang notabene merupakan industri vital, bukan hanya terhadap PDB tapi juga dalam penciptaan lapangan kerja,” tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya