Protes Formula Kenaikan UMP, Serikat Buruh: Setop Politik Upah Murah

Demo buruh di Kawasan Patung Kuda Jakarta (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Kementerian Ketenagakerjaan telah mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2022 naik 1,09 persen. Sejumlah Pemerintah Provinsi pun telah mengumumkan kebijakan masing-masing terkait besaran kenaikan UMP.

Ada Konflik di Timur Tengah, Bos BI Pede Ekonomi RI Tetap Kuat

Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) menyatakan, alih-alih mengeluarkan kebijakan penanganan pandemi COVID-19 yang efektif, pemerintah justru secara simultan mengesahkan regulasi bermasalah di tengah kondisi rakyat yang terkorbankan baik secara medis, sosial, ekonomi, maupun politik akibat COVID-19.

Ketua Umum FSBPI, Dian Septi Trisnanti menjelaskan, salah satu regulasi bermasalah dalam pandangan FSBPI adalah regulasi mengenai pengupahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja, beserta PP 36/2021 sebagai turunannya.

Kapolri Sebut Kedewasaan Politik di 2024 Jauh Lebih Baik Dibanding 2019

"Formula yang diatur dalam regulasi (PP 36/2021) tersebut secara pasti telah menggerus upah buruh," kata Dian kepada VIVA, Senin 22 November 2021.

Ilustrasi buruh saat aksi demo tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Prabowo Lempar Guyon soal Pers: Kadang-kadang Kalian Meresahkan Pimpinan Politik

Dian menjelaskan, besaran UMP DKI Jakarta 2021 bila mengacu pada rumus baru itu, naik dari Rp4,27 juta menjadi Rp4,36 juta. Sementara bila memakai rumus lama, UMP DKI 2021 harusnya bisa naik menjadi 4,6 juta. Artinya, lanjut Dian, prosentase kenaikan upah dengan formula baru menjadi lebih rendah, dan terbukti dari kenaikan UMP DKI 2022 yang hanya naik 1,09 persen.

Sementara, DI Yogyakarta, yang merupakan daerah dengan UMP terendah, bila memakai rumus lama UMP 2021 mereka seharusnya naik dari Rp1,57 juta menjadi Rp1,71 juta. Namun, dengan rumus baru, kenaikan UMP DIY 2021 hanya menjadi Rp1,67 juta.

"Sementara untuk UMP 2022, dengan rumus baru, hanya naik 4,04 persen atau Rp75.673," ujarnya.

Dia menjelaskan, dalam PP No. 36/2021, upah minimum tidak lagi ditetapkan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang kemudian dirundingkan dalam Dewan Pengupahan. Namun, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.

Data pertumbuhan ekonomi, inflasi dan variabel tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga BPS memainkan peran kunci penentuan upah menggantikan Dewan Pengupahan. Di sisi lain, tak jarang ditemui pengusaha yang membayar upah buruh di bawah UMP atau UMK. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja masih digaji di bawah upah minimum.

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha mengupah buruh sesuai standar minimum hanya pada kisaran 49-57 persen. Artinya, jauh sebelum pandemi pun, pelanggaran upah sudah dilakukan oleh para pengusaha.

"Tingginya pelanggaran pembayaran upah sesuai standar upah minimum berkaitan erat dengan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan akibat minimnya jumlah pengawas ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 1.568 orang. Itu pun terpusat di Jakarta atau ibu kota provinsi saja," kata Dian.

"Padahal, idealnya dibutuhkan 6.000 pengawas yang tersebar di semua kabupaten/kota. Meski mengetahui problem krusial ini, negara tidak melakukan perbaikan dan konsisten menerapkan politik upah murah," ujarnya.

FSBPI juga telah menuntut kepada negara untuk:

1. Cabut PP 36/2021 dan SE Menaker Tentang Upah Minimum. Berlakukan Kembali Penghitungan Upah berdasarkan standar kebutuhan hidup layak

2. Naikkan upah minimum sesuai standar kebutuhan hidup layak sebesar 15-30 persen di seluruh wilayah Indonesia.

3. Setop politik upah murah, wujudkan upah layak nasional.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya