Akademisi: Literasi Keuangan di Indonesia Masih Menyedihkan

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad, Prof. Ilya Avianti.
Sumber :
  • M Yudha P/VIVA.co.id

VIVA – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, Prof. Ilya Avianti mengatakan, terdapat gap yang cukup besar di dalam industri fintech saat ini. Yakni antara capaian di aspek inklusi keuangan dan aspek literasi keuangan.

Presiden Direktur P&G Indonesia Sebut Prospek Masa Depan Indonesia Cerah 

Dia menjelaskan, indeks literasi keuangan Indonesia pada tahun 2019 lalu tercatat baru mencapai 38,03 persen. Sementara, indeks inklusi keuangan di tahun 2019 justru telah mencapai 76,9 persen, dan saat ini bahkan sudah mencapai sekitar 90 persen menurut data Bank Indonesia.

"Ini yang menyedihkan adalah soal literasi keuangan, di mana pemahaman masyarakat dan pemanfaatan masyarakat terhadap industri jasa keuangan saat ini masih rendah," kata Ilya dalam webinar AFPI Fintech Lending Summit 2021, Jumat, 3 Desember 2021.

Presdir P&G: Konsumen Adalah Bos

Ilya mengaku cukup menyayangkan dengan adanya gap tersebut. Karena masalah literasi keuangan khususnya di industri keuangan digital, merupakan salah satu fondasi utama dari sebuah masyarakat dalam memahami sektor fintech secara lebih jauh.

"Karena kita semua tahu bahwa transaksi di industri fintech begitu besar dan luar biasa, dengan berbagai produk dan layanan yang disediakan oleh banyak pihak," ujarnya.

Riset: Kebiasaan Belanja Orang Indonesia, Bandingin Harga di Situs Online dan Toko Offline

Baca juga: E-Commerce Ini Giveaway Rumah Mewah di BSD City, Begini Cara Dapatnya

Karenanya, dia pun menekankan perlunya upaya sosialisasi literasi keuangan kepada masyarakat, dan optimalisasi peran asosiasi yang sangat dibutuhkan tidak hanya dalam momen-momen tertentu saja.

"Tapi setiap saat mereka harus terus membantu Pemerintah untuk melakukan sosialisasi literasi ini, supaya masyarakat kita cerdas memahami masalah keuangan digital," kata Ilya.

Ilustrasi fintech.

Photo :
  • Imarticus

Selain itu, salah satu isu lainnya menurutnya adalah masalah konsumen yang tidak aware. Masalah ini harus bisa dipecahkan secara bersama.

Karena itu, Lanjut Ilya, pihak regulator tidak bisa bekerja sendiri karena membutuhkan kolaborasi dari ekosistem fintech. Yang harus bekerja sama untuk membuat regulasi yang sederhana namun cukup memadai.

"Jadi antara regulator fintech, masyarakat, pelaku usaha, serta industri jasa keuangan dan asosiasi, harus berkolaborasi untuk menciptakan keseimbangan di industri fintech Tanah Air," kata Ilya.

"Saya berharap asosiasi dapat membantu pemerintah untuk membuat suatu program pendidikan, supaya konsumen bisa terlindungi dengan baik dan akhirnya bisnis di industrinya bisa lebih sustainable," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya