Alasan Perlunya Tekan Emisi Karbon Saat Kejar Target Produksi Migas

Ilustrasi Pengeboran Lepas Pantai Milik Pertamina Hulu Energi.
Sumber :
  • Instagram @phe.pertamina

VIVA – Isu transisi energi dalam rangka mencapai target Net Zero Emissions semakin gencar. Padahal, Indonesia masih ketergantungan terhadap energi fosil yang hasilkan emisi karbon yang tinggi.

6 Tips Membuat Hidup Lebih Tenang, Pikiran Lebih Relaks

Terlebih kebutuhan energi semakin meningkat sehingga perlu mengejar target produksi minyak dan gas bumi (migas). Di sisi lain Energi Baru Terbarukan (EBT) belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dalam waktu dekat.

Sementara, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi pada 2025 diperkirakan mencapai 25 persen untuk minyak dan gas 22 persen dari total kebutuhan yang diperkirakan mencapai 400 Million Tonnes of Oil Equivalent (MTOE). 

Peringati Hari Kartini, Peran Perempuan dalam Industri 4.0 Jadi Sorotan di Hannover Messe 2024

Baca juga: Alasan Insentif Hulu Migas Dibutuhkan untuk Genjot Produksi

Kemudian persentasenya menurun pada 2050 untuk minyak 20 persen dan gas 24 persen. Akan tetapi dari sisi volume, kebutuhan energi meningkat hingga mencapai 1.000 MTOE. Ini membuktikan bahwa peran energi fosil berupa migas dalam pemenuhan kebutuhan energi masih sangat krusial.

Rukun Raharja Cetak Laba Bersih US$8 Juta di Kuartal I-2024

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa saat ini dunia dihadapkan pada tantangan untuk mengendalikan pertumbuhan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). 

Di mana kata dia, targetnya pada 2030, sebanyak 45 persen emisi GRK di level 2010 bisa terpangkas, setelah itu akan turun menjadi Net-Zero di 2050/2060.

"Perusahaan-perusahaan minyak pun sudah beberapa punya target net zero emissions atau karbon netral di 2050," kata Fabby di Jakarta, dikutip Rabu 8 Desember 2021.

Menurut dia, salah satu emisi yang tinggi di industri migas adalah gas metana. SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dituntut untuk dapat menekankan upaya penurunan gas metana ini. 

“Metana punya Global Warming Potential sebesar 20x dari CO2. Jadi mengurangi gas metana, dari sudut pandang pengendalian emisi GRK sebenarnya lebih cost effective,” ungkap Fabby.

Fabby menjelaskan, Carbon Capture Utilization, Storage (CCUS) dikombinasi dengan EOR bisa dipakai untuk meningkatkan produksi migas. Hanya saja investasi CCUS itu cukup mahal, setara dengan US$100-120/ton CO2. 

“Jadi kalau mau diberikan insentif bisa saja,” ujar Fabby.

Ilustrasi pengeboran minyak (picture-alliance/imageBROKER/D. Radicevic)

Photo :
  • dw

Vorwata Enhanced Gas Recovery (EGR) CCUS di Papua ini akan menjadi proyek pertama Indonesia. Melalui proyek ini, gas CO2 yang diproduksi dinjeksikan kembali ke dalam reservoir Vorwata untuk meningkatkan produksi gas.

Sementara, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto, mengungkapkan tengah menyusun roadmap untuk pengelolaan lingkungan industri hulu migas di masa depan.  

SKK Migas, katanya, melakukan bench marking dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat potensi strategi untuk mencapai target-target tersebut.

“Kami melakukan kajian melalui bench marking potensi kegiatan dan strategi yang akan dilakukan. Hasil bench marking akan digunakan untuk menyusun roadmap, sehingga dapat diketahui prioritas utama strategi untuk penurunan emisi karbon dalam rangka peningkatan produksi migas,” kata Dwi disela The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021), di Bali beberapa waktu lalu. 

Dia menargetkan dalam kurun waktu paling tidak empat bulan ke depan, roadmap bisa rampung sehingga berbagai perencanaan bisa diimplementasikan.

Berdasarkan data SKK Migas tahun ini saja program penghijauan yang wajib dilakukan oleh KKKS dan sudah disepakati bersama dalam Work Plan and Budget (WPN&B) mencapai 6,9 juta pohon dengan lahan seluas 14,1 ribu haktare. Jumlah itu diproyeksi bisa menyerap CO2 mencapai 87,1 ribu ton per tahun.

Salah satu program, yaitu program penghijauan, telah masuk ke dalam Key Performance Indicator (KPI) SKK Migas. 

“Sejak tahun 2021, kami sudah memasukkan program penghijauan ke dalam KPI SKK Migas, untuk memastikan realisasi proyek di lapangan,” kata Dwi. 

Berikut inisiatif tekan emisi karbon:

1. Penerapan Kebijakan dan Regulasi 

  • Komitmen Paris Agreement
  • Berdasarkan Zero Flaring yang tertuang dalam Permen ESDM No 17/2021
  • Penilaian PROPER berdasar Kepmenkeu No 1/2021, Pengelolaan Energi berdasar Permen ESDM No 14/2012 dan PTK 005 SKK Migas serta 
  • penyusunan Permen ESDM tentang carbon capture and storage (CCS) / Carbon Capture Utilization, Storage (CCUS).

2. Pengelolaan energi 

  • Menurunkan Intensitas energi
  • Fuel switching
  • Design & Engineering yang menerapkan konservasi energi, 
  • Kebijakan Perusahaan dalam pemanfaatan energi.
  • Penerapan LCA (Life Cycle Analisys)
  • Pemrosesan ulang limbah.

3. Zero routing flaring 

  • Monetisasi associated gas, termasuk konversi LPG.
  • Pemanfaatatn associate gas untuk fuel operasi, pressure maintenance dan lain-lain.
  • SKK Migas juga mendorong monetisasi kapasitas lebih power generation.

4. Mengurangi Emisi Kebocoran

  • Melakukan pengukuran dan monitoring emisi kebocoran (fugitive emission). 
  • Inspeksi rutin dan check
  • Minor terhadap fasilitas produksi.
  • Memperbaiki kebocoran dan pipa open ended
  • Meningkatkan aktivitas offloading
  • Meningkatkan manajemen stok minyak mentah

5. Penghijauan / Reforestation

  • Penanaman mangrove di area pantai (KKKS Offshore & nearshore). 
  • Rehabiilitasi DAS, penanaman kembali di area perkantoran, ORF, shorebase, dan lain-lain

6. CCS/CCUS

  • Penerapan reinjeksi gas pada gas enhanced recovery
  • Pengkajian pemanfaatan CCU / CCUS.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya