DAI Ungkap Pentingnya Pembetukan LPPP, LPS-nya Industri Asuransi

Ilustrasi perhitungan premi asuransi.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Heboh banyak muncul aduan terkait produk unit link dan kasus gagal bayar menjadi sorotan para pelaku industri asuransi. Mereka pun menyerukann agar terciptanya tata kelola industri asuransi yang lebih sehat di dalam negeri.

Alasan Kejaksaan Agung Izinkan 5 Smelter Timah Tetap Beroperasi Meski Disita

Pengawas dan Pembina Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Kornelius Simanjuntak mengatakan, untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya kolaborasi antara perusahaan asuransi dengan pialang asuransi. 

Kolaborasi antara dua entitas ini tegasnya, penting dilakukan agar menghilangkan sikap saling mencurigai antara keduanya. Sebab, sikap saling curiga yang selama ini selalu muncul dapat merusak kelangsungan dua entitas bisnis tersebut. 

OJK Ingatkan Emak-emak Hati-hati Terjerat Rentenir: Bunganya Luar Biasa Mencekik Leher

"Hilangkan saling menyalahkan. Yang selama ini muncul adalah broker ini katanya merusak pasar," kata Kornelius dalam webinar bertajuk 'Pembenahan Tata Kelola Industri Asuransi', dikutip Jumat, 24 Desember 2021.

Guna menyelesaikan permasalahan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemerintah pun didorong segera membentuk Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP). Lembaga itu pun juga memberi manfaat sebagai upaya mendorong minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi. 

Rupiah Melemah, OJK Kasih Tips Emak-emak Kelola Keuangan

Selain itu, LPPP juga dapat mengembalikan citra perusahaan asuransi, mengingat akhir-akhir ini makin banyak permasalahan yang terjadi di sejumlah perusahaan. Menurutnya, jika mengacu pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, lembaga tersebut sudah harus dibangun. 

Sebab, UU mengamanatkan lembaga tersebut harus sudah ada paling lambat tiga tahun setelah undang-undang perasuransian terbit.

Asuransi untuk mengcover resiko kesehatan

Photo :
  • U-Report

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi Indonesia (Apparindo) Mohammad Jusuf Adi mengatakan, diperlukan kesadaran dari para perusahaan asuransi untuk melakukan bisnis sesuai kecukupan modal. Dengan begitu, pihaknya akan lebih mudah melakukan penyeleksian perusahaan asuransi bagi nasabah. 

“Mungkin ke depan perlu pertimbangan, perusahaan asuransi perlu melakukan spesialisasi sesuai dengan kemampuan internal mereka. Kalau modal Rp3 triliun misalnya, jangan main untuk risiko sampai Rp10 triliun. Sehingga kami di pialang dalam rangka melakukan penyeleksian perusahaan asuransi lebih mudah,” ujarnya.  

Sementara itu, Direktur Teknis IFG Rianto Ahmad menekan, perlu adanya manajemen risiko yang mumpuni oleh perusahaan-perusahaan, guna mendorong iklim industri asuransi yang sehat. Hal ini pun harus menjadi bagian dari budaya perusahaan. 

Selain itu, dalam pembenahan tata kelola industri ini juga dirinya mendorong peranan aktuaris. Menurut Rianto, IFG telah merekrut banyak tenaga-tenaga aktuaris untuk ditempatkan di anak-anak usaha. 

"Kita wajibkan harus ada satuan kerja aktuaris di perusahaan anak kita. Di level direksi kita juga mengupayakan penguatan dari sisi keaktuariaan, manajemen risiko, yang sifatnya lebih memainkan pedal, kopling atau rem," jelasnya. 

Kepala Bagian Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi OJK Muhammad Ridwan pun mengamini cepat terbentuknya LPPP. Mengingat, peras strategis lembaga itu sangat penting di industri asuransi Saat ini, pembentukan lembaga tersebut sedang dalam proses penggodokan. 

Bahkan, pihaknya telah mengajak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk merumuskan desain lembaga ini. Ia berharap, adanya lembaga ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat agar mau membeli produk-produk asuransi.

"Kita sedang mendesain bagaimana nanti bentuk lembaganya, apakah kemudian dia nanti akan melekat di Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) atau kemudian menjadi lembaga yang mirip dengan LPS," ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya