Ekonomi Sirkular Solusi Masalah Sampah Plastik, Ini Penjelasannya

Ilustrasi sampah plastik
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

VIVA – Dirjen Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati, meminta publik menghindari pemakaian sampah berlebih demi mengurangi pencemaran lingkungan karena sampah plastik yang kian mengkhawatirkan.

Swiss German University Dukung Revolusi Industri 4.0 di Indonesia!

Dia mengungkapkan, saat ini Indonesia menghasilkan 93 juta sampah sedotan plastik per tahun. Jumlah tersebut jelas berdampak buruk pada ekosistem lingkungan.

Hal tersebut ditegaskannya dalam diskusi online bertajuk 'Ekonomi Sirkular: Solusi Limbah Plastik Indonesia dan Mitigasi Perubahan Iklim'.

Bea Cukai Terbitkan Izin Kawasan Berikat untuk Dyeing Manufaktur

"Sampah sedotan plastik itu kalau disusun bisa mencakup jarak dari Jakarta sampai Meksiko. Kalau bisa jangan dipakai lagi deh," ujar Rosa dikutip dari keterangannya, Senin, 7 Maret 2022.

Dia menyampaikan, persoalan sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka seharusnya jadi keprihatinan semua kalangan. Mengingat dampaknya yang sangat besar pada perubahan iklim di level global.

Apindo Ungkap RI Alami Industrialisasi Berkelanjutan, Pemerintah Diingatkan Ini

Menurutnya, meski pemerintah telah berupaya keras untuk menekan pencemaran sampah plastik di lingkungan bebas. Warga juga dapat berpartisipasi dengan mengadopsi pola pikir baru terkait pengelolaan sampah plastik. 

"Kesadaran individu yang paling utama", ujarnya menekankan. Orang perlu melihat sampah sebagai tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab Pemerintah Daerah semata," tegasnya.

Menurut Rosa, perubahan pola pikir dan perilaku dalam pengurangan sampah plastik bisa dimulai dari hal-hal kecil, semisal memilah sampah plastik rumah tangga. Lalu, sedapat mungkin menggunakan kemasan air minum yang awet dan mengurangi pemakaian kantong kresek sekali pakai.

Sedotan plastik.

Photo :
  • Pixabay/rkit

Ahli Teknologi Produk Plastik dari Universitas Indonesia, Prof Dr Mochamad Chalid menyatakan, banyak stigma yang dilekatkan orang, plastik pada dasarnya produk yang 'relatif lebih ramah lingkungan' ketimbang kemasan lainnya semisal yang berbasis kertas. 

"Analisis Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan plastik lebih ramah lingkungan karena energi yang diperkukan untuk pembuatannya relatif jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim," katanya.

Menurutnya, plastik sejatinya material yang 'eksotik' dan punya banyak keunggulan dari sisi ekonomi seperti kepraktisan dan pemanfaatan dalam skala masal. Meski, juga punya kekurangan, utamanya waktu penguraian di alam yang perlu puluhan hingga ratusan tahun alias lebih panjang dari usia manusia pemakainya.

Namun menurutnya, sisi negatif sampah plastik itu bukan persoalan besar andai masyarakat mengadopsi ekonomi sirkular. Di mana sampah plastik tak lagi dibuang di penimbunan akhir sampah layaknya sampah organik rumah tangga, namun dipandang sebagai material yang bisa dimanfaatkan kembali dan punya nilai ekonomi tinggi. 

"Kalau konsep ekonomi sirkular bisa diadopsi banyak kalangan, persoalan sampah plastik dengan mudah kita atasi bersama. Apalagi kalau penerapannya dibarengi dengan stimulus ekonomi, kesadaran publik bisa lebih cepat," tambahnya.

Sementara itu, Direktur Sustainability Development Le Minerale, Ronald Atmadja, mengamini hal tersebut. Le Minerale, katanya, aktif mendukung gerakan ekonomi sirkular dengan membantu pemulung dan lapak di berbagai kota mengumpulkan lebih banyak sampah plastik agar bisa diolah dan dijual kembali untuk memenuhi keperluan industri daur ulang dalam negeri. 

"Program kerja sekaligus untuk mendukung target Kementerian Lingkungan Hidup mengurangi impor sampah bekas (scrap) yang saat ini mencapai 50 persen dari kebutuhan industri daur ulang," katanya.

Menurut Ronald, warga juga perlu didorong untuk membiasakan memilah sampah sejak dari level rumah tangga. Sehingga dengan sendirinya , sampah plastik tersebut bisa dikontrol pencemarannya.

"Orang kerap membuang sampah plastik begitu saja, digabungkan dengan sampah rumah tangga lainnya, dimasukkan dalam kemasan plastik yang lain. Akibatnya, sampah plastik yang bernilai ekonomi tinggi ikut tercemar dan pada akhirnya tercecer di lingkungan semisal Tempat Pembuangan Akhir sampah," katanya. 

"Ini sejatinya lost opportunity, mengingat sampah plastik tak bisa dikembalikan lagi ke hulu industri untuk pengelahan kembali," ungkapnya.

Ketua Asoasiasi Daur Ulang Plastik, Christine Halim menekankan hal serupa. Menurutnya, edukasi warga agar terbiasa memilah sampah plastik bisa sangat membantu menjaga kesinambungan siklus dan ritme industri daur ulang plastik. 

"Le Minerale ini brand nasional yang pertama kali mendorong gerakan ekonomi sirkular secara masif, mengedukasi publik lewat iklan-iklan sosial. Kami berharap brand lainnya ikut serta dalam hal serupa," singkatnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya