Mengintip Efektivitas Kebijakan PPS Pajak, 'Tax Amnesty' Jilid II

Pelayanan pajak di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan, Jakarta.
Pelayanan pajak di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan, Jakarta.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Chandra G Asmara

VIVA – Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan FIA UI  dan Anggota Komite Pengawas Perpajakan, Haula Rosdiana menyoroti, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang dilaksanakan selama enam bulan dari 1 Januari-30 Juni 2022. Hingga saat ini faktor-faktor peting yang mendukung keberhasilan tax amnesty maupun PPS belum terpenuhi. 

Adapun PPS merupakan program yang disepakati oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diterbitkan melalui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Untuk PPS kebijakan I dikhususkan bagi orang pribadi dan badan usaha peserta Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (2016-2017). 

Yang belum atau kurang mengungkapkan aset perolehan tahun 1985-2015 dalam Surat Pernyataan sepanjang belum menjadi temuan Otoritas Pajak.

Pada PPS kebijakan II, hanya diperuntukan bagi orang pribadi bukan badan usaha yang belum atau kurang melaporkan aset perolehan tahun 2016-2020. Melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan sepanjang belum menjadi temuan Otoritas Pajak.

Namun, jika dalam hal ini DJP menemukan aset perolehan tahun 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT. Maka asset tersebut dapat dianggap penghasilan dan dikenai pajak sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi. 

Jika wajib pajak yang ingin terbebas dari risiko pemeriksaan dan sanksi administrasi, diwajibkan membayar PPh final dengan besaran tarif disesuaikan dengan jenis keikutsertaan PPS.

Sementara itu, dalam pelaksanaannya yang telah berjalan dari Januari-Maret, DJP telah mengungkapkan lebih dari 30 ribu wajib pajak menjadi peserta. Dengan nilai harta bersih yang dilaporkan mencapai Rp47,79 triliun dan PPh final yang dibayarkan sebesar Rp4,87 triliun.

Halaman Selanjutnya
img_title