Intip Tantangan Negara Asia Hapus Ketergantungan Energi Fosil

Ilustrasi emisi gas rumah kaca.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Sebuah riset mengungkapkan bahwa ketergantungan sejumlah negara di Asia akan penggunaan energi bahan bakar fosil dan gas fosil diproyeksikan akan sulit dihilangkan. Sebab, rencana pendanaan investasi di sektor tersebut masih lebih besar dibanding kan infrastruktur untuk transisi ke energi hijau.

27 Korban Penipuan Investasi Rp52 Miliar Geruduk Rumah Orang Tua Pelaku di Tasikmalaya

Dikutip Kamis, 12 Mei 2022, dari riset bertajuk ‘The Trouble With Gas’ yang dilakukan oleh kelompok sipil di Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh ini mengungkapkan hal tersebut.

Bank Dunia dan cabang sektor privatnya(Korporasi Keuangan Internasional) disebut tetap mempertahankan dukungannya terhadap infrastruktur gas fosil dan gas alam cair. Melalui pendanaan untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas, saluran pipa, dan pabrik regasifikasi gas alam cair di ketiga negara tersebut.

Jangan Sampai Terjerat Pinjol, Ini Tips Kelola Keuangan Lebih Cerdas

Dijabarkan, terdapat sebesar US$379 miliar infrastruktur gas baru yang direncanakan di Asia yang terancam menjadi aset terdampar. Di tengah upaya bangsa-bangsa di dunia mulai beralih dari bahan bakar fosil untuk memenuhi target Perjanjian Paris. 

Investasi gas yang terencana di Asia terdiri dari US$189 miliar pembangkit listrik berbahan bakar gas, US$54 miliar saluran pipa gas, dan US$136 miliar terminal ekspor-impor gas alam cair. Apabila direalisasikan dan dioperasikan dalam kapasitas penuh, seluruh infrastruktur tersebut akan memberikan dampak besar hingga 1,5 derajat celcius pemanasan global.

Peringati Hari Kartini, Peran Perempuan dalam Industri 4.0 Jadi Sorotan di Hannover Messe 2024

Studi ini menunjukkan, bagaimana lembaga Bank Dunia justru mendorong ketergantungan negara terhadap gas fosil daripada menyediakan dukungan untuk proses transisi kepada energi yang berkelanjutan dan terbarukan.

Di Indonesia, perencanaan infrastruktur gas yang baru melingkupi pembangkit listrik tenaga gas, saluran pipa, pelabuhan, terminal impor gas alam cair, dan pabrik regasifikasi. Hal ini akan menghambat upaya nyata transisi ke energi bersih dan terbarukan. 

"Selain berdampak besar terhadap lingkungan dan kesehatan, emisi metana dari proyek tersebut akan berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca Indonesia di tengah krisis iklim dunia," ujar Andri Prasetiyo dari Trend Asia di Indonesia.

Energi terbarukan.

Photo :
  • U-Report

Sementara itu di Pakistan, Bank Dunia dan Korporasi Keuangan Internasional telah mendukung energi gas dan gas alam cair yang mengakibatkan ketergantungan Pakistan terhadap gas fosil yang mahal pada tahun 2022.

“Bank Dunia harus mengakui bahwa kebijakan mereka untuk mendukung infrastruktur gas fosil dan gas alam cair adalah sebuah kesalahan yang sangat merugikan. Hal itu juga berkontribusi besar pada ketergantungan Pakistan terhadap impor gas alam cair di masa kini dan juga harga tunai yang sangat mahal oleh pihak penyedia,” ujar Anggota Alternative Law Collective di Pakistan Zain Moulvi.

Kemudian di Bangladesh, Bank Dunia harus membuat penghapusan referensi apapun terkait eksplorasi sumber daya gas lokal dan impor gas alam cair sebagai prioritas dalam Kerangka Kerja Sama Negara Bangladesh Tahun 2022-2026. Selai itu, segera melakukan reorientasi terhadap prioritas dan pendanaannya untuk mengakselerasi transisi energi bersih berdasarkan prinsip pencemar membayar.

Fran Witt dari Recourse, Belanda, menambahkan, penelitian-penelitian ini juga menemukan bahwa Lembaga Bank Dunia tidak berkonsultasi secara sistematis dengan masyarakat sipil di negara di mana mereka beroperasi. 

"Kami mendesak Bank Dunia untuk mengadakan dialog transparan dan terbuka untuk merespons kebutuhan energi lokal dan isu-isu lingkungan terkait. Keterbukaan dan transparansi juga harus selalu ditanamkan dalam persiapan pendanaan dan bantuan teknis kebijakan pembangunan Bank Dunia yang baru," ungkapnya.

"Serta dalam investasi dan pinjaman modal oleh Korporasi Keuangan Internasional yang justru mendukung pengembangan gas fosil di dunia,” tambahnya.

Lebih lanjut dia menegaskan, lembaga Bank Dunia harus menggunakan sumber dayanya yang terbatas untuk mendukung pemerintah negara dalam upaya akselerasi transisi energi. Dari gas fosil dan gas alam cair impor dengan memfokuskan arah kebijakannya dan memastikan ketahanan energi secara jangka panjang. 

"Tidak boleh ada kemunduran dalam komitmen mengatasi krisis iklim, menghapuskan bahan bakar fosil dan juga gas fosil. Target ini harus menjadi prioritas utama apabila Lembaga Bank Dunia benar-benar serius ingin menyelaraskan tujuan dengan target dari Perjanjian Paris.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya