Industri AMDK Tak Perlu Khawatir soal Pelabelan BPA, Ini Alasannya

Ilustrasi galon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Aturan pelabelan potensi bahaya bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada galon air Minum Dalam Kemasan (AMDK) masih menjadi sorotan saat ini. Khususnya oleh kalangan industri terkait.

Merespons hal tersebut, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan potensi bahaya bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada kesehatan dan keselamatan publik merupakan sesuatu yang nyata. Karena itu kalangan industri tidak perlu berlebihan merespons regulasi pelabelan BPA yang justru untuk mengedukasi masyarakat.

"BPA kan fungsinya menjadikan plastik keras dan jernih (tembus pandang, red), namun sayangnya bisa berpindah ke makanan atau minuman," kata Pandu dikutip dari keterangannya, Rabu, 22 Juni 2022.

Pandu menjelaskan, kekhawatiran terkait bahaya BPA adalah sifatnya global karena diukur dari regulasi ketat di banyak negara. Di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA. 

"Di beberapa negara bahkan ada kewajiban pelabelan 'Free BPA' (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat," katanya.

Seperti diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kini tengah merampungkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat. Atau, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA. 

Produsen galon jenis tersebut yang mendominasi pasar, nantinya diwajibkan untuk mencantumkan label peringatan 'Berpontensi Mengandung BPA'. Ketetapan itu terhitung tiga tahun sejak aturan disahkan.

BPA (Bisphenol A).

Photo :
  • NPR

"Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," katanya. 

Sebelumnya, Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM, Rita Endang menyatakan rancangan regulasi pelabelan BPA untuk tahap awal hanya menyasar produk galon guna ulang. 

Menurutnya, sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang yang 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. 

"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat)," kata Rita menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang." 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Sofyan S Panjaitan, berpendapat semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA. 

"Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label & Iklan Pangan," katanya dalam sebuah pernyataan pekan lalu.

Terkait masih adanya penentangan dari kalangan industri atas regulasi pelabelan BPA, Sofyan menilai bahwa hal itu karena industri belum punya usulan yang pas atas redaksi pelabelan BPA pada kemasan galon guna ulang. 

Kemnaker Berkomitmen Terus Tingkatkan Kinerja Layanan Publik Balai Besar K3 Jakarta

Dia sendiri berharap regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik. Bisa berupa kewajiban pencantuman logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang tanpa terkecuali. 

Selain itu, dia menyarakan bahwa perlu penambahan label dengan redaksi 'Pilih Kemasan Plastik yang Aman Digunakan' atau yang senada. Serta, pencantuman barcode yang memuat beragam informasi produk, termasuk masa berlaku, jenis kemasan dan produsen.

Dharma Polimetal Tebar Dividen 2023 Rp 171,29 Miliar, 28 Persen dari Laba Bersih

Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, organisasi yang mewadahi 60.000 depot air minum di seluruh Indonesia, Budi Dharmawan, menegaskan pelaku depot air minum selalu mendukung Pemerintah dalam hal menjaga kesehatan konsumen. 

"Sejak awal kami sudah menyatakan dukungan kami ke BPOM. Kami melihat bahwa pelabelan tersebut pada dasarnya demi keamanan Kesehatan konsumen dan dunia usaha justru mendatangkan keuntungan dengan pelabelan tersebut dengan cara mengadaptasi value chain dari bisnis itu sendiri," kata Budi.

Asia Tenggara Bisa Jadi Pemimpin Industri Kripto Dunia, Begini Penjelasannya

Menurut Budi, industri air minum kemasan adalah bisnis yang sudah berumur lebih dari 50 tahun. Karena itu, tentunya wajar apabila terjadi perubahan yang sifatnya disruptif. 

"Unsur kepastian akan rasa aman bagi konsumen itu selayaknya menjadi prioritas dalam memproduksi pangan terkemas. Konsumen akan memilih produk yang mampu beradaptasi," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya