UKM Jadi Tulang Punggung Ekonomi, Ini Tantangannya untuk Mendunia

Ilustrasi pelaku UKM.
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA – Pemerintah terus menggenjot kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar naik kelas saat ini. Sebab, mereka merupakan salah satu tulang punggu perekonomian di Indonesia.

Melemah di Level Rp 16.220 per Dolar AS, Rupiah Diproyeksi Menguat

Namun kontribusi UKM terhadap ekspor nasional masih sangat minim. Berbagai faktor menjadi biang keladi sulitnya UKM Tanah Air menembus pasar dunia.

Merespons hal tersebut, Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM bidang Produktivitas dan Daya Saing, Yulius, membeberkan tantangan bagi UKM di Indonesia. Tantangan itu harus dihadapi dengan serius dan bersama-sama.

Ninja Xpress: Pengiriman Paket Melonjak 20 Persen saat Ramadhan 2024

Menurut dia, tantangan pertama yaitu persoalan Logistics Performance Index (LPI) Indonesia tergolong rendah. Yaitu senilai 3,15. Sementara LPI negara lain seperti Jerman (4,2), Swedia (4,05), Belgia (4,04), Singapura (4,0), dan Jepang (4,03).

Namun jika dibandingkan dengan lower-middle income group seperti India, atau emerging economies seperti Vietnam dan Cote d’Ivoire, LPI Indonesia tidak tertinggal terlalu jauh.

Dharma Polimetal Tebar Dividen 2023 Rp 171,29 Miliar, 28 Persen dari Laba Bersih

"Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk bisa memperbaiki indeks tersebut," kata Yulius dalam acara BanggaUKM Indonesia dengan tema 'Win Local, Go Global' dan disaksikan secara daring, Selasa, 28 Juni 2022.

Dia menambahkan, di sisi lain, biaya logistik yang tinggi di Indonesia yaitu mencapai 24 persen dari PDB nasional menjadi tantangan berikutnya. Sebab di negara lain lebih rendah, seperti Malaysia hanya 13 persen, India 14 persen, dan China 14 persen dan Vietnam 20 persen.

Padahal, logistik menjadi salah satu tulang punggung dari perdagangan lintas negara. Dia menegaskan, manajemen logistik yang bagus mampu mengurangi trade cost dan membantu negara bersaing di kancah global.

Ilustrasi UKM pabrik sepatu.

Photo :
  • dell.com

Kemudian, proses border compliance di Indonesia membutuhkan waktu 56 jam, sedangkan pada proses documentary compliance membutuhkan waktu 61 jam. Berbeda dengan China yang hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam.

Tantangan UKM untuk mendunia selanjutnya adalah pandemi COVID-19. Masa pandemi mengakibatkan kelangkaan yang menyebabkan semakin tingginya biaya ekspor. Terjadi kenaikan harga sewa rata-rata 152 persen. Tujuan Asia naik 110 persen, Eropa 199 persen, Amerika 126 persen, Australia 155 persen, dan Afrika 173 persen.

Selanjutnya, adalah urusan pembiayaan. Kata Yulius, banyak UKM-UKM di Indonesia justru tidak sanggup melakukan ekspor ketika permintaannya banyak. Masalah utamanya adalah kesulitan pendanaan.

"Kita tahu bahwa sumber pendanaan dari perbankan itu hanya 20 persen untuk UMKM. Bank belum bisa memberikan lebih daripada itu," kata dia.

Yulius mengungkapkan, Pemerintah pun telah mendorong perbankan untuk memberikan pendanaan bagi UKM hingga 30 persen dari total pinjamannya pada 2025.

Jika dibandingkan, dengan 20 persen pinjaman perbankan, sektor UKM bisa menyediakan 97 persen tenaga kerja. Sementara itu, 80 persen pinjaman kepada pengusaha besar hanya bisa menciptakan tenaga kerja sebesar 3 persen. Ini sangat kontradiktif.

Berikutnya adalah masalah kualitas barang. Kualitas barang UKM yang ingin dikirim ke luar negeri harus sudah sertifikasi uji layak atau tidak. Untuk melakukan sertifikasi produk, lagi-lagi terkendala masalah biaya.

"Ini kira-kira yang membuat kita selalu kalah bersaing dengan negara lainnya. Karena dalam ekspor itu yang paling utama adalah kualitas, kuantitas, dan ketersediaan," ujarnya.

Pemerintah juga telah melakukan pelatihan pendidikan kepada UKM untuk bisa melakukan ekspor, dan mendorong agar UKM dapat melek digital. Saat ini baru UKM yang melek digital baru mencapai 12 juta. Tahun 2030 akan dorong hingga mencapai 30 juta UKM yang melek digital.

Terlepas dari hal tersebut, Yulius membeberkan produk apa saja yang menjadi andalan Indonesia dan dicari-cari oleh negara lain. Pada komoditi pertanian yaitu buah-buahan seperti nanas, pisang dan melon, perikanan seperti tuna sirip kuning, udang, kepiting), furnitur yaitu bambu dan kayu. lalu kopi, coklat, teh dan rempah-rempah.

"Negara tujuan ekspor utama China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura," ujar Yulius.

Kebanyakan UKM bergantung kepada Pemerintah dan lonjakan perbankan. Namun, tidak dengan Revolt Industry. CEO Revolt Industry, Stephen Firmawan Panghegar mengatakan, sejak berdiri pada tahun 2014, Revolt Industry sangat independen atau mandiri. Modal awalnya saja hanya Rp7 jutaan. 

Ia memulai usahanya ini mulai dari garasi dengan dibalut oleh mimpi dan keresahan. Sudah banyak lika-liku yang berhasil dihadapi karena buah hasil kerja keras jajaran brand. Ada faktor keberuntungan dan kehebatan semesta. 

"Dari garasi, di tahun pertama kebakaran, kemalingan, kebanjiran, dan pandemi. Tapi kita berdiri lagi," kata Stephen.

Namun, dia mengakui bahwa pagebluk menjadi batu sandungan terbesar untuk Revolt Industry. Kalau biasanya 25 persen penjualan setiap tahunnya untuk ekspor, tetapi selama pandemi turun drastis hingga 10 persen.

"Revolt Industry adalah sebuah brand lokal independen yang bergerak di bidang fesyen dan gaya hidup dengan produk fesyen berbahan kulit lokal dan produksinya secara handmade. Saat ini, total omzet kami per bulannya mencapai Rp400, sumbangan ekspor masih sangat kecil yaitu Rp40 jutaan," ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya