Respons Sri Mulyani Usai The Fed Naikkan Suku Bunga Secara Agresif

Menkeu Sri Mulyani.
Sumber :
  • Anisa Aulia/VIVA.

VIVA Bisnis – Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin. Kebijakan tersebut diambil sebab peningkatan inflasi yang tidak menunjukkan tanda-tanda pelonggaran yang jelas.

Jokowi Perintahakan Sri Mulyani Jalin Komunikasi dengan Prabowo, Untuk Apa?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, setiap kali AS menaikkan suku bunga acuannya akan menimbulkan krisis keuangan bagi negara-negara emerging atau berkembang.

"Secara historis kita lihat setiap kali Amerika menaikkan suku bunga apalagi secara sangat agresif biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging. Seperti yang terjadi pada tahun 1974, 1980-an, dan juga terjadi pada akhir tahun 1980-an," kata Sri Mulyani pada APBN KITA periode Juni dikutip, Kamis 28 Juli 2022.

Profesor Ilmu Politik Sayangkan jika Sri Mulyani Jadi Calon Kepala Daerah

Baca juga: Peruri Bakal Dampingi Pemda Tranformasi Digital pada Pelayanan Publik

Ani begitu sapaan akrabnya mengatakan, hal itu karena AS dengan mata uang US dolar-nya mendominasi lebih dari 60 persen transaksi dunia.

Sri Mulyani Masuk Bursa Pilgub DKI Jakarta, Stafsus Buka Suara

"Ini menjadi salah satu hal yang menjadi risiko yang dipantau oleh institusi seperti IMF, di dalam melihat kerawanan negara developing dan negara emerging," jelasnya.

Selain itu dikatakannya, volatilitas yang meningkat tersebut juga menimbulkan kemungkinan terjadinya penurunan atau pelemahan kinerja ekonomi negara-negara di dunia. Karena AS dengan kenaikan suku bunganya akan menimbulkan adanya ancaman resesi.

Federal Reserve Bank of New York

Photo :
  • Tangkapan Layar

Ani mengatakan, berdasarkan survei Bloomberg beberapa waktu lalu menunjukkan potensi terjadinya resesi. Potensi itu khususnya ada di negara AS, Eropa, dan beberapa negara di Asia.

"Kalau kita lihat China ekonomi terbesar di dunia yang menerapkan polusi lockdown probabilitas resesi tahun ini oleh Bloomberg survei adalah 20 persen," terangnya.

Sedangkan untuk Indonesia dalam hal ini menurut survei tersebut hanya di 3 persen. Maka jika dibandingkan dengan negara tersebut jauh lebih kecil.

"Meskipun demikian kita tetap harus waspada karena semua indikator ekonomi dunia itu mengalami pembalikan, yaitu dari tadinya recovery menjadi pelemahan. Dan pada saat yang sama kita juga melihat kompleksitas dari policy yang bisa menimbulkan spillover," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya