Fakta-fakta Sinyal Ekonomi Dunia Bakal Resesi 2023

Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Bisnis – Pemerintah mengaku tengah mewaspadai besarnya dampak yang bakal dirasakan perekonomian nasional, akibat gelombang resesi global yang puncaknya diperkirakan terjadi pada 2023. Bahkan, sejumlah sinyal akan terjadinya resesi pada ekonomi nasional, juga sudah mulai terlihat saat ini.

5 Negara dengan Perusahaan Domestik Terbanyak di Dunia, Cina Paling Unggul

Direktur Center Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 bisa terancam di bawah 5 persen.

"Karena ancaman dari resesi ekonomi global ini cukup nyata dan berdampak bagi perekonomian nasional," kata Bhima saat dihubungi VIVA , Kamis 29 September 2022.

ADB Proyeksikan Ekonomi Kawasan Asia-Pasifik Tumbuh 4,9 persen pada 2024

Dampak dari resesi ekonomi nasional yang bakal dirasakan salah satunya adalah pada sektor neraca perdagangan Indonesia, yang selama ini ditopang oleh harga komoditas yang naik. Dengan adanya resesi, Bhima memastikan bahwa permintaan bahan baku industri juga akan menurun.

"Akibatnya, akan terjadi penurunan pada harga komoditas ekspor unggulan, dan bisa menyebabkan tekanan pada sisi ekspor," ujar Bhima.

China Krisis Kelebihan Pasokan Produk

Dampak dari resesi ekonomi nasional selanjutnya adalah terhadap realisasi investasi. Bhima menjelaskan, selain melihat efek dari naiknya harga BBM terhadap inflasi, secara riil sebenarnya terjadi tekanan dan para investor akan masuk kepada aset-aset yang lebih aman.

Hal itu masih ditambah dengan naiknya suku bunga acuan secara agresif, untuk mengendalikan inflasi. Maka biaya pinjaman bagi sektor investasi pun akan melemah, dan pertumbuhan kredit bisa terkoreksi serta mengganggu realisasi investasi langsung.

Apalagi, lanjut Bhima, tahun 2023 mendatang adalah tahun politik, dan risiko politik juga menjadi hal yang sangat dihindari oleh para pelaku usaha untuk berekspansi.

"Jadi ancaman resesi yang terjadi di Inggris, kawasan Eropa, Amerika Serikat, atau bahkan China yang sedang bermasalah karena kebijakan zero COVID-19 dan bubble di sektor properti, itu bisa menjalar dan berdampak pada tekanan ekonomi domestik," ujarnya.

Guna memahami potensi terjadinya resesi ekonomi nasional pada tahun 2023 mendatang, berikut adalah sejumlah fakta-fakta yang menjadi sinyal resesi itu diperkirakan terjadi 2023.

1. Kenaikan suku bunga ekstrem oleh sejumlah bank sentral

Kenaikan suku bunga ekstrem antara lain dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), yang sudah menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin selama tiga kali berturut-turut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Photo :
  • VIVA/Anisa Aulia

Hal serupa juga terjadi pada suku bunga acuan Inggris, yang naik sebesar 2,25 persen atau 200 basis point (bps). Kemudian, Brasil juga tercatat menaikkan suku bunga acuannya sebesar 450 bps, dan Bank Sentral Meksiko pun mengerek suku bunganya hingga 300 bps.

Tak ketinggalan, Bank Sentral India juga menaikkan suku bunganya sebesar 140 bps, Bank-bank Sentra di Eropa menaikkan suku bunga hingga sebesar 125 bps, dan Indonesia pun turut menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps beberapa waktu lalu.

Terkait hal ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya pernah mengatakan bahwa apabila bank-bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunganya secara ekstrem dan bersama-sama, maka dipastikan dunia akan mengalami resesi di tahun 2023 mendatang.

"Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem, dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut," kata Sri Mulyani.

2. Lonjakan inflasi yang tinggi

Sinyal resesi lainnya yakni adanya inflasi yang tinggi, yang dibarengi dengan kenaikan suku bunga acuan di banyak negara di dunia. Hal ini diyakini berpotensi membuat kinerja perekonomian dunia mengalami pelemahan.

Tekanan inflasi di beberapa negara sudah cukup tinggi itu misalnya seperti di Uni Eropa sebesar 9,6 persen, Amerika 9,1 persen, Inggris 8,2 persen, Korea 6,1 persen. Selain itu, IMF juga melakukan revisi pertumbuhan ekonomi yang turun ke bawah, di mana untuk tahun 2022 yang semula adalah 3,6 persen menjadi 3,2 persen.

Tekanan inflasi yang menyebabkan pelemahan ekonomi tersebut mulai terlihat dari ekspansi purchasing managers index (PMI) manufaktur global, yang terus melambat ke 50,3 pada Agustus 2022. Hal ini sekaligus tercatat menjadi level terendah, dalam 26 bulan terakhir. Beberapa negara utama yang PMI manufakturnya mengalami kontraksi pada Agustus 2022 secara bulanan, yakni seperti Eropa yang kini di level 49,6, Tiongkok di 49,5, serta Korea Selatan di level 47,6.

3). Konflik Geopolitik Rusia-Ukraina

Dalam pertemuan Jokowi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin, terungkap bahwa konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina yang menjadi salah satu faktor kesulitan ekonomi dunia terutama dalam hal pasokan bahan pangan, dipastikan masih akan berlanjut di tahun 2023 mendatang.

Jokowi memaparkan, hal itu bisa menjadi salah satu hal yang memicu krisis pangan, yang sampai saat ini sudah melanda dunia dan menyebabkan 345 juta orang di 28 negara yang tersebar di berbagai belahan dunia, menderita kekurangan pangan akut. Selain itu, Jokowi menyebut sebanyak 19.600 orang meninggal setiap hari karena kelaparan.

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan

Photo :
  • YouTube RGTV channel ID

Karenanya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengajak seluruh elemen bangsa Indonesia baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mewaspadai besarnya dampak ekonomi akibat gelombang resesi global yang saat ini melanda dunia.

Dia mengajak agar bangsa Indonesia bisa kompak dalam menghadapi tantangan tersebut. Karena dampak dari konflik geopolitik baik antara Rusia-Ukraina maupun Tiongkok-Taiwan, akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya