Bappebti Dinilai Perlu Dilibatkan Atur Bursa Karbon

Ilustrasi karbon
Sumber :
  • ANTARA

VIVA Bisnis – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) perlu dilakukan perbaikan. Salah satunya terkait desain infrastruktur bursa karbon, hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan.

OJK Beberkan Kunci Hadapi Memanasnya Dinamika Ekonomi Global

Bhima mengatakan, secara umum hadirnya pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha. Sebab kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun.

Bhima menyebutkan, pada pasar 26 dituliskan bahwa ketentuan pasar karbon akan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk dia mengusulkan agar Bappebti juga ikut dilibatkan.

OJK Cabut Izin usaha BPRS Saka Dana Mulia Kudus

“Sebaiknya Bappebti yang dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek. Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan," kata Bhima dalam keterangan yang diterima VIVA, Selasa 22 November 2022.

Ilustrasi karbon dioksida.

Photo :
  • U-Report
Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

Bhima menjelaskan, dengan kolaborasi antara Bappebti dan OJK nantinya akan membentuk skema pembiayaan lembaga keuangan. Di mana Bappebti mengatur perdagangan komoditi karbon, dan OJK akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.

"Contohnya, ada perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi, dapat menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditi karbon sebagai agunan akan menjadikan perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pendanaan baru," jelasnya.

Bhima juga menyoroti, terkait pasal 5 A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK. Pasal itu, kata dia, perlu diperbaiki.

“Selain revisi pada Pasal 26, kami mendesak Pasal 5 A ayat 8 direvisi dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti. Untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon," ujarnya.

Hal itu jelas dia, karena sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan bursa karbon. Sehingga dengan itu menurutnya tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru di bawah wewenang OJK.

"Kami khawatir masa tunggu yang lama akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik, padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya