Konflik Geopolitik Picu Krisis Energi Global, Transisi Energi RI Masih Relevan?

Ilustrasi PLTU
Sumber :
  • Harry Siswoyo/VIVAnews.

VIVA Bisnis – Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir makin gencar mempromosikan wacana transisi energi dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Padahal, proses menuju upaya transisi energi tersebut saat ini memiliki sejumlah tantangan dan kendala yang cukup serius dan signifikan untuk dihadapi Indonesia.

Terinspirasi Langkah Indonesia, Amerika Serikat Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Misalnya terkait dengan konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina, yang turut menyebabkan krisis energi secara global. Apalagi, proses transisi energi tentunya sangat membutuhkan keseimbangan, antara pemanfaatan EBT dan penggunaan energi fosil supaya transisinya bisa berjalan lancar dan sukses.

Baca juga: Dicurhati Warga Soal Tambang Ilegal di Klaten, Gibran: Bekingannya Ngeri

IHSG Hari Ini Diprediksi Kembali Menguat Ditopang Fundamental Ekonomi RI

Menanggapi kondisi seperti itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi adalah sebuah keniscayaan dan pasti akan berjalan. Hanya saja, menurutnya kita harus benar-benar berhati-hati dalam menjalankan proses transisi energi ini.

"Maksudnya berhati-hati adalah dengan memperhatikan segala macam aspek, baik itu dari aspek ekonomi, masyarakat, dan juga aspek sumber daya alam yang kita miliki," kata Mamit saat dihubungi VIVA Bisnis, Senin 28 November 2022.

Menko Airlangga Bertemu Menlu Singapura, Optimis Kerja Sama Bilateral Kedua Negara Terjalin Kuat

Dia menegaskan, Indonesia sebagai negara yang punya potensi sumber daya alam yang cukup besar, harus terus mengoptimalisasikan terlebih dahulu sambil berjalan seiringan dengan proses transisi energi tersebut. "Jadi jangan terburu-buru melakukan transisi energi menuju energi bersih, karena itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Nah, dari mana dana itu? Kan tidak bisa dari dana APBN saja," ujarnya.

Karenanya, Mamit menekankan perlunya sokongan dana dari negara-negara lain, yang selama ini selalu berkampanye berkomitmen untuk membantu Indonesia dalam melakukan upaya transisi energi tersebut. Sebab, sampai saat ini bantuan yang dijanjikan itu memang belum kelihatan, sehingga mereka harus membuktikan terlebih dahulu dukungan pendanaannya tersebut.

"Saya tidak mau dana APBN kita digunakan untuk transisi energi, sehingga akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat dan APBN kita. Sehingga akhirnya akan membuat perekonomian nasional semakin berat," kata Mamit.

Peta Pipa Jalur Gas Rusia ke Eropa.

Photo :
  • Instagram @arcandra.tahar

Dia menegaskan, harus benar-benar bisa dipastikan bahwa proses transisi energi tidak akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian nasional, khususnya bagi masyarakat. Sebab, dampak negatif dari upaya transisi energi yang memakai dana APBN itu menurutnya cukup signifikan.

Karena jika proses transisi energi banyak menggunakan dana APBN, maka proses pembangunan dan pendanaan kegiatan lain dari negara terhadap masyarakat tentunya juga akan terdampak. Sebab, transisi energi ini jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Misalnya jika ingin melakukan retirement atau mempensiundinikan pembangkit listrik, maka dana yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta dolar.

"Misalnya proses pensiun dini untuk pembangkit di Sukabumi saja, itu kan sudah membutuhkan dana hingga mencapai US$800 juta. Nah ini duitnya dari mana?" kata Mamit.

"Jadi kalau negara-negara yang ada di G20 kemarin seperti Amerika, Jepang, benar-benar mau berkomitmen membantu Indonesia, kirimkanlah dana bantuannya, jangan cuma ngomong saja. Kecuali misalnya ada investor masuk yang mau membangun EBT, ya silakan, tidak ada masalah," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya