Buruh Tolak Kenaikan UMP 2023 dan Ancam Demo, Ini Alasannya

Said Iqbal Presiden KSPI
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Bisnis – Kalangan buruh mencermati wacana kenaikan upah minimum provinsi (UMP) seperti di Banten sebesar 6,4 persen, Jogja 7,65 persen, Jawa Timur 7,85 persen, hingga DKI Jakarta 5,6 persen.

PSI Ungkap Sosok Gubernur yang Tepat Pimpin Jakarta

Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, pihaknya bersama organisasi serikat buruh menyatakan menolak nilai prosentase kenaikan UMP tersebut.

Alasannya, karena masih berada di bawah nilai inflasi Januari-Desember 2022 yaitu sebesar 6,5 persen, plus pertumbuhan ekonomi Januari-Desember yang diperkirakan sebesar 5 persen.

Iskandar Sitorus Bongkar Ciri-ciri Artis P yang Terlibat Kasus Korupsi Rp4 Triliun

"Kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia seharusnya adalah sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing Provinsi atau Kabupaten atau Kota di tahun berjalan, bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau year-on-year," kata Said Iqbal, Senin 28 November 2022.

Ia berpendapat, jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, hal itu tidak memotret dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi. Karena, kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2022.

Gubernur di Jepang Mundur Setelah Hina Penjual Sayur dan Peternak Sapi

Terkait dengan kenaikan UMP DKI Jakarta tahun 2023 sebesar 5,6 persen, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh ditegaskannya juga mengecam keras keputusan Pejabat Gubernur DKI yang tidak sensitif terhadap kehidupan kalangan buruh. 

"Kenaikan 5,6 persen masih di bawah nilai inflasi. Dengan demikian, Gubernur DKI tidak punya rasa peduli dan empati pada kaum buruh," ujar Iqbal.

UMP DKI Seharusnya Naik 10,55 Persen dan UMK di Kisaran 10-13 Persen

Ilustrasi uang tunai/gaji/pesangon.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Iqbal pun mendesak agar Pejabat Gubernur DKI merevisi kenaikan UMP DKI tahun 2023 sebesar 10,55 persen, sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI bersama unsur serikat buruh.

Menurutnya, kenaikan UMP DKI 5,6 persen tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI Jakarta. Sebab, biaya sewa rumah saja umumnya sudah sebesar Rp 900 ribu, transportasi dari rumah ke pabrik (PP) dan pada hari libur bersosialisasi dengan saudara dibutuhkan anggaran Rp 900.000.

Kemudian makan di Warteg tiga kali sehari dengan anggaran sehari Rp 40.000, menghabiskan Rp 1,2 juta sebulan. Kemudian, biaya listrik Rp 400 ribu, biaya komunikasi Rp 300 ribu, sehingga totalnya Rp 3,7 juta. 

"Jika upah buruh DKI Rp 4,9 juta dikurangi Rp 3,7 juta, hanya sisa Rp 1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain? Jadi dengan kenaikan UMP 5,6 persen, buruh DKI tetap miskin," ujarnya.

Ancam Demo Besar Jika Tuntutan Tidak Didengar
Ia melanjutkan, UMP DKI yang naik 5,6 persen akan mengakibatkan UMK di seluruh Indonesia menjadi kecil. Untuk itu, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mendesak agar UMP DKI direvisi menjadi sebesar 10,55 persen, sebagai jalan kompromi dari serikat buruh yang sebelumnya  mengusulkan 13 persen.

Partai buruh dan organisasi serikat buruh, lanjut dia, mengapresiasi sikap pemerintah yang menggunakan Permenaker 18/2022 dan tidak lagi menggunakan PP 36/2021. Partai buruh dan organisasi serikat buruh meminta Bupati dan Wali Kota dalam merekomendasikan nilai UMK ke Gubernur adalah sebesar antara 10 hingga 13 persen.

"Bilamana tuntutan di atas tidak didengar, mulai minggu depan akan ada aksi besar di berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk menyuarakan kenaikan upah sebesar 10 hingga 13 persen," tegas Said.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya