Suku Bunga Acuan Diproyeksi Naik 25 Bps, BI Dinilai Perlu Kurangi Agresifitas Kebijakan

Logo Bank Indonesia.
Sumber :
  • VivaNews/ Nur Farida

VIVA – Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20 dan 21 Desember 2022. Salah satunya adalah mengumumkan suku bunga acuannya, yang saat ini ada di posisi 5,25 persen.

Penjelasan BI soal Layanan Alipay Mau Masuk Indonesia

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, Bank Indonesia perlu untuk menaikkan suku bunga acuannya pada hari ini sebesar 25 basis poin (bps).

"Kami memandang BI perlu untuk mengurangi agresivitas kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 5,50 persen di bulan ini," kata Riefky dalam laporan yang diterima VIVA, Kamis, 22 Desember 2022.

Dorong Ekosistem Ekonomi Keuangan Digital, BI Bali Gelar Baligivation Festival 2024

Bank Indonesia luncurkan bersama kartu debet berlogo GPN.

Photo :
  • VIVA.co.id/Arrijal Rachman

Riefky mengatakan, hal itu perlu dilakukan karena mempertimbangkan beberapa perkembangan terakhir. Di mana inflasi domestik masih berada di atas target BI dan rupiah yang terdepresiasi dengan volatilitas yang cukup tinggi.

Gubernur BI Proyeksikan Rupiah Baru Balik ke Rp 15.000-an pada Kuartal IV-2024

Kemudian menyempitnya perbedaan tingkat suku bunga memicu arus modal keluar. Sehingga pengetatan suku bunga masih perlu dilanjutkan.

"Namun, beberapa faktor telah mengalami perubahan arah dan perlu dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan moneter. Pertama, ada indikasi kuat bahwa inflasi telah mencapai puncaknya dan mengarah pada tren penurunan," jelasnya.

ilustrasi suku bunga bank

Photo :

Kedua kata dia, beberapa episode arus modal masuk di minggu belakangan seiring relaksasi pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral negara maju, telah mengurangi tekanan pada rupiah.

Selain itu, beberapa faktor yang sudah mengalami perubahan yaitu kebijakan yang terus agresif akan berdampak terhadap ekonomi ke depannya.

"Kebijakan moneter yang terlalu ketat dan lebih dari yang dibutuhkan untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di masa mendatang," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya