Implementasi Penetapan Harga Gas untuk Industri Dinilai Tidak Efektif, Pemerintah Diminta Evaluasi

Gas bumi untuk industri.
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVA Bisnis –  Indonesia Gas Society (IGS) meminta Pemerintah untuk mengevaluasi kembali ketetapan Harga Gas bumi tertentu (HGBT) atau gas industri yang sebesar US$6 per MMBTU.

Smelter Freeport di Gresik Mulai Produksi Agustus 2024 dengan Kapasitas 50 Persen

Chairman Indonesia Gas Society Aris Mulya Azof mengatakan, sebab dalam implementasinya agar target Pemerintah untuk industri hilir bisa berkembang dan lebih banyak menyumbangkan penerimaan kepada negara dari sisi perpajakan, justru tidak sepenuhnya tercapai.

“Di sisi lain, pemerintah sudah rela berkorban banyak dengan mengurangi bagiannya di sisi hulu demi terwujudnya HGBT,” ujar Aris di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Maret 2023.

HKTI Usulkan HPP Gabah Naik Jadi Rp6.757

Petugas PT Perusahaan Gas Negara (PGN) (Persero) Tbk mengganti alat ukur (meteran) jaringan gas industri

Photo :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Menurutnya, hal itu menjadi tidak sesuai dengan target keseluruhan yang ingin dicapai. Apalagi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.

Negara Ini Tuduh Iran sebagai Negara Teroris, Kok Bisa?

“Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga US$6 per MMBTU dapat sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sektor hulu. Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir,” jelasnya

Aris menjelaskan, pemerintah menargetkan kebijakan HGBT bisa memberikan efek berganda, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi.

Padahal, jelasnya, pengembangan gas bumi pada era transisi energi mendesak untuk segera dilakukan karena sumber energi ini dianggap merupakan energi fosil yang paling bersih daripada batubara dan minyak bumi.

“Kebijakan ini tidak bisa permanen, mungkin harga US$6 bisa dikoreksi akibat penerimaan negara secara total terus berkurang. Kebijakan HGBT harus dievaluasi untuk menghitung efek berganda dan nilai tambah yang diharapkan pemerintah, seperti meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan investasi baru, meningkatkan efisiensi proses produksi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berharap, pemerintah dapat melihat permasalahan yang ada dengan menggunakan helicopter of view yang lebih luas. Pemerintah harus bisa menelurkan kebijakan yang proporsional.

Dia mengingatkan migas ke depan masih sangat diperlukan. Kendati Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi fokus pemerintah. Namun, berdasarkan kajian sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan energi pada sisi volume.

Meskipun secara persentase terlihat menurun. Oleh karena itu, perlakuan terhadap industri hulu migas tidak boleh dilakukan serampangan.

“Apakah ada potensi gagal pada pengembangan EBT? Menurut saya hal itu sangat besar kemungkinannya, terkait masalah pembiayaan dan teknis penyediaannya sendiri. Selain panas bumi, pengembangan EBT sangat bergantung pada cuaca, PLTA bergantung pada debit air, begitu juga dengan PLTS. Ini alasan mengapa gas bumi menjadi penting untuk diperhatikan,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya