Harga BBM di DKI Bisa Naik Akibat Pajak Bahan Bakar, Pengamat Ungkap Dampak Buruknya

Ilustrasi SPBU Pertamina, harga BBM
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) menjadi 10 persen melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Logikanya, hal itu tentunya juga akan turut mengerek harga BBM non-subsidi di DKI Jakarta. Karena, pajak tersebut merupakan salah satu komponen pembentuk dari harga jual eceran BBM non-subsidi itu sendiri.

Bumi Resources Masuk 7 Perusahaan Wajib Pajak Terbaik versi DJP Kemenkeu

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, kenaikan PBBKB itu pastinya akan turut mengerek harga BBM non-subsidi di Jakarta. Bahkan, hal itu memiliki dampak negatif yang tidak bisa dihindarkan, yakni peralihan konsumen dari BBM non-subsidi ke BBM subsidi yang lebih murah seperti misalnya Pertalite.

"Itu dampak buruknya. Jadi semakin mahalnya harga Pertamax, maka itu akan memicu konsumen untuk pindah migrasi ke Pertalite," kata Fahmy saat dihubungi VIVA Bisnis, Senin, 29 Januari 2024.

40 Ribu NIK KTP Warga Jakarta yang Sudah Meninggal Dinonaktifkan

SPBU Pertamina, ilustrasi harga BBM

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Meski demikian, Fahmy memastikan bahwa biasanya fenomena peralihan konsumen seperti itu, hanya terjadi pada konsumen yang sensitivitas harganya tinggi. Sehingga, perubahan harga Itu akan mendorongnya untuk pindah ke Pertalite, dan hal itu tidak bisa dihindari.

PKB Bakal Usung Ida Fauziyah-Hasbialla Ilyas di Pilkada DKI

Sementara bagi konsumen yang sensitifitas terhadap harganya tidak begitu tinggi, maka dia tidak akan bermigrasi ke Pertalite. Hal itu karena konsumen semacam itu lebih mementingkan kualitas BBM untuk kendaraannya, daripada kenaikan harga 10 persen tadi. "Karena bagi mereka, kenaikan harga itu tidak terlalu berpengaruh," ujarnya.

Namun, Fahmy memastikan bahwa kenaikan Pajak BBKB 10 persen bagi BBM non-subsidi itu tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan baik kepada konsumen maupun kepada perekonomian secara nasional.

Karena harga BBM non-subsidi itu sudah ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga para konsumennya pun sudah terbiasa dengan harganya yang terkadang naik atau turun. Selain itu, Fahmy berpendapat bahwa umumnya para konsumen BBM non-subsidi itu adalah masyarakat kelas menengah ke atas, yang jumlahnya tidak begitu banyak sehingga tidak akan berpengaruh.

"Tapi kalau kenaikan (PBBKB) itu dikenakan pada BBM subsidi seperti misalnya Pertalite, yang misalnya naik menjadi Rp 11.000 per liter saja, maka hal itu termasuk kenaikan yang cukup berpengaruh baik terhadap konsumen ataupun terhadap perekonomian nasional. Kenaikan itu pasti akan menyulut inflasi, karena jumlah pengguna Pertalite besar," ujarnya.

Diketahui, dalam pasal 23 Perda No. 1/2024 tersebut, dijelaskan bahwa dasar pengenaan PBBKB yakni berdasarkan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai (PPn). Selanjutnya, pada pasal 24 dijelaskan bahwa tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10 persen.

Angka itu naik dari PBBKB sebelumnya, yang hanya sebesar 5 persen. Sementara tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50 persen, dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.

"Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24," sebagaimana dikutip dari Pasal 25 Perda No. 1/2024, Senin, 29 Januari 2024.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya