DPR: Pemerintah Harus Segera Ambil Keputusan Soal Freeport

Wilayah pertambangan terbuka Freeport di Timika, Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja
VIVA.co.id
Menteri Arcandra Bicara Masa Depan Freeport
- Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Yudha, menegaskan pemerintah harus sepakat dalam pengambilan keputusan menyangkut keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua. Menurut Satya, seharusnya seluruh anggota kabinet bisa bekerja sama dan memiliki satu pemikiran untuk menyelesaikan isu Freeport. 

Papua Bangun Kompleks Olahraga Mewah untuk PON 2020
Hal itu diungkap Satya dalam sebuah diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu, 17 Oktober 2015. 

Rampingkan Organisasi, Saham Induk Freeport Melonjak
"Seharusnya seluruh anggota kabinet dapat berdiskusi untuk mencari satu pemikiran, bukan beradu pendapat masing-masing dan akhirnya berujung buntu," ujar Satya.

Masalah Freeport sudah disadari dan dimengerti konstruksi hukumnya. Tetapi karena setiap orang (anggota kabinet) hanya melihat dari 'kacamata' masing-masing, maka belum ada jawaban akhir hingga saat ini untuk menentukan apakah kontrak Freeport akan diperpanjang.

"Masalah ini sudah sangat lama dan seharusnya sudah diselesaikan secara tegas karena ada pelanggaran yang dilakukan. Pemerintah harus memberikan jalan keluar," kata dia.

Satya berpendapat, DPR ingin membenahi masyarakat Indonesia apalagi persoalan ini menyangkut nilai investasi yang sangat tinggi. Kendati demikian karena belum ada revisi Undang-Undang No. 4 tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), maka pihak berwenang tidak bisa begitu saja menjatuhkan hukuman atau keputusan kepada salah satu pihak.

DPR telah mengingatkan, jika kontrak Freeport diperpanjang, maka status kontraknya harus diubah, dari Kontrak Karya (KK) menjadi izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sesuai UU Minerba, maka pengajuan perpanjangan kontrak harus dilakukan maksimal dua tahun sebelum masa kontrak berakhir. Artinya, Freeport yang habis masa kontraknya pada tahun 2021, boleh mengajukan perpanjangan kontrak pada 2019.

"Kita (DPR) sudah berkali-kali bilang kalau Freeport melanggar UU tetapi pemerintah beranggapan akan kehilangan pendapatan jika memutuskan hubungan dengan Freeport," ucap Satya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS), Marwan Batubara, berpendapat Indonesia membutuhkan banyak orang untuk bisa menyelesaikan persoalan tersebut.

"Jika mau ada negosiasi, siapkan tim dan pakar khusus. Libatkan sebanyak mungkin orang supaya tidak ada hal-hal yang merugikan atau menimbulkan kecurigaan," kata Marwan.

Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, sudah menjalin komunikasi intensif antara pemerintah dengan pimpinan Freeport yang menghasilkan kesepakatan bersama untuk menjaga kelangsungan investasi jangka panjang perusahaan tambang asal Negeri Paman Sam itu. Untuk bisa memuluskan niat itu, maka PP No. 23 tahun 2010 perlu diubah. 

Jika tidak, maka perusahaan tambang termasuk Freeport baru bisa memperpanjang kontrak paling cepat dua tahun sebelum kontrak pertambangannya berakhir. Sedangkan, Freeport berkeinginan agar kontrak mereka di Papua segera diperpanjang, alasannya mereka telah berinvestasi di Papua hingga US$18 miliar atau setara Rp242 triliun. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya