- ANTARA/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id - Bank Indonesia (BI) memusatkan perhatian untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini merupakan respons terhadap dinamika perekonomian global.
Pada Selasa 24 November 2015, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, pertumbuhan ekonomi global yang masih lemah, tidak berimbang, dan rentan terhadap gejolak, tentunya memengaruhi kestabilan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Gejolak di pasar keuangan ini merupakan dampak antisipasi pasar, terhadap rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, dan melambatnya perekonomian Tiongkok.
"Merespons hal tersebut, BI dengan penuh keyakinan mengambil langkah kebijakan untuk memulihkan stabilitas ekonomi, agar tekanan tidak berlanjut dan mengganggu sendi-sendi perekonomian lainnya," kata Agus dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2015, di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Selasa 24 November 2015.
Dia mengatakan, bahwa respons bank sentral ini diimplementasikan dalam bauran kebijakan dengan fokus jangka pendek, untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah.
Bauran kebijakan ini meliputi kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran nasional.
Di sisi kebijakan moneter, BI mengedepankan posisi kebijakan moneter yang bisa menjaga inflasi tetap sesuai sasaran dan mengelola neraca transaksi berjalan, agar semakin sehat dan kondusif.
"Namun, di sisi lain, tetap memberikan ruang bagi pemulihan ekonomi nasional," ujar Agus.
Ia mengatakan, kebijakan makroprudensial diarahkan pada upaya pengendalian risiko-risiko utama, yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Selain itu, kebijakan makroprudensial ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan sistem keuangan.
"Kebijakan makroprudensial secara terukur juga ditempuh, untuk memberikan ruang pemulihan pada sektor-sektor ekonomi yang risikonya relatif terkendali," katanya.
Kebijakan makroprudensial lain yang juga ditempuh adalah peningkatan loan to value ratio (LTV) untuk kredit properti, penurunan uang muka untuk kredit kendaraan bermotor dan ketentuan giro wajib minimum (GWM).
Sementara itu, di sistem pembayaran, ada kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Indonesia.
"Dengan adanya kewajiban ini, transaksi non tunai di dalam yang semula menggunakan mata uang dolar AS turun tajam sejak Juli 2015. Perkembangan ini kami pandang positif, karena turut mendukung upaya pengelolaan permintaan valuta asing dan stabilitas nilai tukar rupiah secara keseluruhan," jelasnya.