Plus Minus Skema Pengenaan Pajak Tanah Nganggur

Ilustrasi tanah ngaggur.
Sumber :
  • Rumahku.com

VIVA.co.id – Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait masih menggodok untuk menerapkan sistem pajak bagi tanah yang mengedepankan aspek keadilan. Sampai saat ini, ada dua opsi yang sebelumnya disuarakan, untuk mengenakan pajak bagi tanah tidak produktif, alias nganggur.

PIK Siapkan Kawasan Pusat Gaya Hidup Ramah Lingkungan Usai Pandemi

Adapun skema yang diusulkan, di antaranya adalah capital gain tax (CGT), atau pajak keuntungan modal, dan pajak progresif. Keduanya, merupakan jenis pajak berbasis Pajak Penghasilan, yang nantinya akan dikenakan pada saat transaksi penjualan atau pengalihan.

Lantas, bagaimana untung rugi dari kebijakan tersebut?

Cara Bayar Pajak Motor Online, Mudah dan Tanpa Antre

Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan kedua skema pajak tersebut. Misalnya, dari CGT yang dianggap jenis pajak ideal.

“Karena, dikenakan atas keuntungan, sehingga lebih adil sesuai prinsip pajak. Akan dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis,” ujar Prastowo dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin 6 Februari 2017.

Dijual Cuma Rp400 Juta, Apartemen Ini Bakal Bergaya Scandinavian

Namun, CGT emiliki kelemahan dari sisi ketersediaan basis data, yaitu data harga perolehan tanah dan data kepemilikan. Mulai dari siapa sasarannya, dan berapa nilai asetnya. Maka dari itu, Prastowo menilai, diperlukan integrasi data kepemilikan dan data nilai tanah yang baik.

Sementara itu, pajak final progresif, kelemahannya adalah skema tersebut tidak ideal seperti CGT, karena berbasis transaksi.

“Orang cenderung menghindari nilai pasar. Maka tantangannya adalah penyesuaian NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang continue, sehingga mendekati harga pasar,” katanya.

Prastowo memandang, baik CGT maupun pajak final progresif sama-sama memiliki kelemahan dari beberapa sisi. Misalnya, seperti dikenakan saat adanya transaksi, padahal skema disinsentif ini justru akan efektif saat dikenakan tahunan, sehingga mendorong pemilik lahan produktif atau menjualnya.

“Selain itu, selama ini ada BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) untuk pembeli. Karena ini domain pemerintah daerah, maka sulit mengikuti perubahan kebijakan pusat. Perlu adanya koordinasi yang lebih baik,” ujarnya.

Terkait dengan kelemahan CGT dan pajak final progresif, Prastowo menilai, harus ada pajak yang dikenakan periodik (tiap tahun) dengan tarif progresif (seperti atas kendaraan), agar menjadi insentif orang untuk mengusahakan lahannya, atau justru menjualnya. Maka Pajak Bumi Bangunan bisa menjadi pilihan yang mungkin.

“Hanya saja, kembali ke problem inkompatibilitas Otda, PBB Perdesaan Perkotaan adalah domain pemerintah daerah. Perubahan harus via UU, dan ada koordinasi pengaturan supaya adil,” katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya