- VivaNews/ Nur Farida
VIVA.co.id – Indonesia ditegaskan bukanlah negara yang diincar dari dua perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. RI juga dinilai tidak harus bertanggung jawab atas meningkatnya defisit neraca perdagangan Negeri Paman Sam tersebut.
Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan BI, Nanang Hendarsyah, menilai, hubungan perdagangan antara Indonesia dan AS tidak seperti negara-negara kawasan. Sehingga, tidak akan ada dampak yang signifkan atas rencana Trump tersebut.
“Indonesia bukan target utama dari kebijakan Trump. Karena struktur perdagangan kita tidak berhubungan langsung ke sana,” jelas Nanang di Jakarta, Kamis 6 April 2017.
Berdasarkan data Biro Statistik Perdagangan AS, defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia terus meningkat. Pada 2013, defisit mencapai US$9,7 miliar. Kemudian pada 2014, menjadi US$11,1 miliar, 2015 sebesar US$12,4 miliar, dan 2016 sebesar US$13,1 miliar.
Indonesia pun tidak masuk kategori yang dituduh Presiden dari Partai Republik tersebut. Sebab, negara yang masuk ketegori merugikan, adalah negara yang memiliki surplus lebih dari US$20 miliar dengan AS.
“Mungkin yang terkena, seperti Vietnam dan Taiwan yang bisa jadi dicap sebagai negara currency manipulation. Jadi hemat saya, dampaknya tidak signifikan,” katanya.
Sebagai informasi, ada dua indikator lainnya yang digunakan AS dalam menentukan, mana saja negara-negara yang dianggap sudah merugikan AS. Mulai dari transaksi berjalan di tiap negara yang mencetak surplus karena imbas dari neraca jasa positif, dan negara yang melakukan intervensi kurs mata uang yang terus menerus. (one)