Alasan Jaring Laba-laba Ikut dalam Pembangunan Infrastruktur

Ilustrasi buruh pekerja bangunan konstruksi jalan tol
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

VIVA.co.id – Teknologi jalan beton Jalla, atau Jaring Laba-laba sebagai inovasi anak bangsa dinilai seharusnya memiliki peran lebih, dalam pembangunan infrastruktur yang tengah digalakkan pemerintah di seluruh wilayah Indonesia.

Dak Beton Kian Populer untuk Atap Rumah, Perhatikan Ini Agar Tak Bocor

Ahli Teknik Sipil, Profesor Herman Wahyudi mengatakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), khususnya Ditjen Bina Marga, seharusnya dapat memberikan peluang bagi inovasi bangsa sendiri. Khususnya di bidang konstruksi, agar dapat diaplikasikan untuk pembangunan infrastruktur.

“Apalagi, kalau inovasi tersebut telah lolos uji," kata Prof. Herman, seperti dikutip dari keterangannya, Selasa 13 Juni 2017.

Faktor Ini Paling Penting dalam Konstruksi Bangunan, Jangan Diabaikan

Menurutnya, teknologi Jalla sama halnya dengan konstruksi jalan lainnya yang menggunakan perkerasan beton (rigid pavement). Hanya saja, memiliki struktur yang lebih stabil, karena dilengkapi dengan sirip-sirip menyerupai jaring laba-laba.

Ia berpendapat, dengan maraknya pembangunan jalan tol dan jalan nasional di berbagai pelosok wilayah Indonesia, termasuk Trans Papua, seharusnya juga ikut menyertakan teknologi karya bangsa sendiri. “Apalagi, kalau teknologi tersebut tidak membutuhkan kontraktor dengan keahlian khusus,” ujar Prof. Herman.

Jadi Penopang Sektor Konstruksi, Empat Industri Ini Masih Prospektif

Khususnya untuk jalan tol, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dapat memberikan sosialisasi penggunaan konstruksi karya bangsa sendiri, sesuai kebijakan pemerintah untuk memperbesar Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

"Teknologi Jalla itu bisa dikerjakan seluruh kontraktor, termasuk kontraktor kecil. Di samping itu, telah teruji lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih ramah lingkungan, karena sedikit menggunakan alat berat, serta lebih ekonomis biaya pembangunan dan pemeliharaannya," kata dia.

Prof. Herman berpendapat, belum banyaknya teknologi Jalla dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur, sangat bergantung kemauan dari pemilik proyek baik itu pemerintah, BUMN, atau swasta, kemudian juga konsultan perencana harus ikut terlibat.

"Pendekatannya memang tidak mudah untuk masuk dalam lingkungan tersebut, namun bisa dijalankan sepanjang pemegang paten, dalam hal ini PT Katama Suryabumi dapat meyakinkan teknologi ini jauh lebih efisien, baik dari segi biaya pembuatan maupun pemeliharaan," kata dia.

Menurutnya, kalau ada yang menyebutkan teknologi Jalla ini membutuhkan perbaikan tanah (soil improvement) sebelum dihampar di atasnya, seluruh konstruksi baik itu perkerasan aspal maupun beton, terlebih dahulu harus ada perbaikan tanah, khususnya tanah yang memiliki daya rusak tinggi.

"Tanah lempung, tanah ekpansif, dan tanah gambut membutuhkan penanganan khusus terlebih dahulu, sebelum di atasnya di tempatkan perkerasan jalan. Semua itu bisa dihitung, mau kualitas seperti apa, serta teknologi mana yang mau dipakai," kata Prof. Herman.

Dia menambahkan, untuk di tanah-tanah yang memiliki sifat ekstrem semacam itu, teknologi Jalla sudah terbukti mampu menahan beban di atasnya seperti di Dumai Provinsi Riau dan Bojonegoro Jawa Timur. Seharusnya, teknologi yang telah teruji semacam ini dapat diberi kesempatan untuk pemanfaatan yang lebih luas lagi.

Sementara itu, ia menyampaikan apresiasinya atas kerja sama PT Katama Suryabumi yang menggandeng BUMN Karya dengan tujuan memanfaatkan pabrik pra cetak yang ada di seluruh Indonesia, agar dapat diaplikasikan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok Indonesia.

"Tinggal menunggu keberpihakan dari pengambil kebijakan, serta pemilik proyek baik itu dari swasta maupun BUMN," kata Prof. Herman. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya