Stimulus Ekonomi Diharapkan untuk Dorong Daya Beli

Ilustrasi belanja.
Sumber :
  • REUTERS/Lucy Nicholson

VIVA.co.id – Konsumsi masyarakat masih menjadi harapan pemerintah untuk menggenjot perekonomian. Meski begitu, menilik pengeluaran yang dikeluarkan hingga pertengahan tahun, daya beli masyarakat belum menggeliat seperti yang diharapkan pemerintah.

Jumlah Pemudik Lebaran 2024 Capai 193,6 juta, Airlangga: Ada Andil Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang dikutip VIVA.co.id, Kamis 3 Agustus 2017, penjualan sepeda motor secara year on year tumbuh minus 26,9 persen. Penjualan mobil pun tercatat tumbuh minus 27,5 persen.

Bahkan, data Bappenas menunjukkan volume penjualan semen mengalami kontraksi, karena mencatatkan pertumbuhan minus 26,8 persen secara year on year. Impor bahan baku modal dan penolong, pun masing-masing tumbuh minus 27,3 persen dan 17,1 persen secara year on year.

Harga BBM Non-subsidi Pertamina Tidak Naik, Erick Thohir: Demi Jaga Stabilitas Ekonomi

Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede saat berbincang dengan VIVA.co.id mengungkapkan, belum meningkatnya daya beli masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, adalah kecenderungan masyarakat yang saat ini lebih memilih untuk menunda menggelontorkan belanja.

“Kita bisa lihat dari beberapa indikator seperti penjualan ritel. Apabila melihat dari survei kepercayaan konsumen BI (Bank Indonesia) juga ada penurunan,” kata Josua di Jakarta.

Pertumbuhan Ekonomi AS Beri Tekanan ke Ekonomi Global, Bagaimana Dampaknya ke RI?

Josua memandang, masyarakat saat ini lebih memilih menempatkan sebagian pendapatannya di bank, ketimbang harus dibelanjakan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan pendapatan riil yang bergerak stagnan, berbanding terbalik dengan kebutuhan yang terus meningkat.

Lemahnya permintaan, juga tercermin dari pertumbuhan kredit perbankan yang masih lesu. Data BI menunjukkan, penyaluran kredit perbankan saat ini baru mencapai Rp4.518,1 triliun, atau tumbuh 7,6 persen, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,6 persen.

“Kemungkinan ada pergeseran pola konsumsi masyarakat. Saya tidak bilang terkontraksi, tapi daya beli memang agak melambat,” ujarnya.

Inflasi inti pada Juni yang mencapai 0,26 persen, pun menunjukkan indikasi adanya pelemahan konsumsi masyarakat. Meskipun konsumsi kuartal pertama tahun ini bisa menembus angka lima persen, rendahnya permintaan saat ini tetap harus diperhatikan pemerintah. 

Untuk menggenjot daya beli, pemerintah diharapkan mampu memberikan stimulus untuk mengompensasi dampak dari penyesuaian tarif dasar listrik beberapa waktu lalu, dan melonjaknya harga pangan. Menurut dia, upaya ini perlu dilakukan.

“Intinya bagaimana spending jangka panjang pemerintah, terutama hal-hal struktural. Karena ini berkaitan dengan investasi jangka panjang, terkait dengan pembangunan infrastruktur,” katanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, rendahnya inflasi dalam beberapa bulan terakhir sama sekali bukan cerminan lemahnya permintaan. Namun, pemerintah akan mengevaluasi kegiatan ekonomi yang saat ini masih lesu.

“Kami masih mencari persoalan itu kenapa. Saya belum bisa jelaskan banyak,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya