Dewi Dee Angkat Bicara soal Aturan Pajak Royalti Buku

Dewi Dee Lestari
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA.co.id – Kegundahan dari ketidakadilannya perlakuan pajak royalti kepada para profesi penulis di Indonesia seperti yang dialami oleh Tere Liye juga ikut dirasakan oleh penulis kenamaan lainnya yaitu Dewi Lestari.

Ingatkan Masyarakat Bayar Pajak, DJP: Tolong Jangan Jadi Free Rider

Dalam situs pribadinya deelestari.com yang dikutip VIVA.co.id pada Jumat 8 September 2017, mengungkapkan persepsi umum profesi penulis adalah miskin dan prihatin. Bahkan tak jarang penulis dikadali penerbit hingga tak bisa mengandalkan royalti dari bukunya.   

Bahkan, Dewi menilai jarang seorang penulis mau menjadikan hal itu sebagai profesi utama yang bisa diandalkan untuk bisa hidup berkecukupan. Dan secara ekonomi, penulis  profesi yang menantang.

Jokowi Ajak Masyarakat Lapor SPT Pajak Tahunan Lewat e-Filing

Lalu, ketika ada kasus seperti Tere Liye yang memutuskan menghentikan menerbitkan seluruh buku tulisannya karena merasa tak adil terhadap pajak royalti, Dewi pun ikut merasakan hal senasib.  

"Saya bisa pastikan Tere Liye tidak sendiri dalam kegelisahannya. Setiap ada kesempatan bicara mewakili penulis, soal pajak royalti tidak pernah luput saya ungkap, termasuk ketika ada kesempatan curhat langsung kepada Presiden Jokowi," ungkapnya.

Jadi Tersangka, Dua Penyuap Angin Prayitno Aji Ditahan KPK

Menurut dia, peraturan pajak saat itu rasanya menggasak penulis dua kali. Sudah pendapatan royalti dikenai 15 persen, sisanya yang masuk ke penghasilan tahunan dihitung utuh sebagai pendapatan kena pajak.

Hal itu, Lanjut Dewi, tentunya sangat berbeda dengan profesi lainnya seperti praktisi kesehatan yang menggunakan rumus norma sebesar 30 persen dari total pendapatannya dan sisanya dianggap modal usaha.

Kemudian, ketika itu diubah menjadi rumus norma bagi para penulis pada 2017 ternyata hal itu tak lantas menyelesaikan masalah, sebab Ditjen Pajak menolak hal itu lantaran hanya dapat digunakan pada pendapatan non royalti.
 
Kondisi tersebut menurut Dewi tak lepas dari anggapan bahwa penulis mendapat penghasilan pasif dan penulis tidak keluar modal. Sehingga, norma itu hanya bisa digunakan bisa penulis terbitkan sendiri karyanya.
 
"Artinya, ketika pajak menggenggam sebuah buku, ia hanya melihat modal yang keluar dari 90 persen aspek fisik buku saja, bukan dari kontennya," jelasnya.

Untuk itu, Dewi mengusulkan agar pajak royalti penulis bisa tepat sasaran yaitu melalui, pertama jika royalti tetap dianggap penghasilan pasif, maka perlakukanlah pajaknya seperti pemasukan pasif. Final setelah penerbit memotong pajak kami, maka selesai urusan.

Dan Kedua, jika royalti bisa dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka beri pilihan penggunaan norma pada seluruh pendapatan kami tanpa kecuali.

"Jujur, pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara dapat benar-benar menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya