Cara Ini Jauhkan RI dari Jebakan Negara Kelas Menengah

Ilustrasi kesenjangan di kota besar.
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan, inovasi dan paten merupakan salah satu kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan lepas dari jebakan negara kelas menengah atau middle income trap.

Kelas Menengah Tiongkok Dalam Kecemasan

Sebagai informasi, paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Hasil penelitian Indef menemukan adanya korelasi yang positif antara paten dan pertumbuhan ekonomi. Ekonom Indef, Berly Martawardaya mengungkapkan, setiap satu persen kenaikan jumlah paten yang terdaftar berkorelasi positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,06 persen.

Resmi Dijual di Indonesia, Segini Harga Sharp Aquos Sense8

"Artinya bila jumlah paten bisa naik sepuluh persen saja, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih tinggi 0,6 persen. Ini selisih yang tidak kecil, mengingat tiga semester ini angka pertumbuhan Indonesia sulit naik dari angka 5,01 persen," ujar Berly di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu 27 September 2017.

Ia menjelaskan, pemberian hak paten di Indonesia telah mendapat perhatian dari Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Presiden telah menetapkan keputusannya untuk membuat Indonesia mampu bersaing dalam rantai pasokan global melalui inovasi dengan standar kualitas yang tinggi.

Sri Mulyani Sebut Pembangunan Infrastruktur Kunci RI Keluar dari Negara Pendapatan Kelas Menengah

"Aspek utama untuk mendorong tercapainya misi ini adalah dengan memiliki perlindungan paten yang kuat bagi seluruh pelaku inovasi," kata dia.

Dari sisi inovasi, Berly melanjutkan, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan mampu mencapai predikat high income countries atau negara dengan pendapatan tinggi melalui peningkatan industri hi-tech yang didukung oleh kebijakan inovasi yang memadai.

Sayangnya, kata dia, dalam laporan Global Innovation Index yang terbit pada 2017, peringkat inovasi Indonesia masih berada di posisi 87 dari total 127 negara atau hanya naik satu peringkat dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, di ASEAN, Indonesia berada jauh di bawah Malaysia yang menduduki peringkat 37, dan Vietnam dengan peringkat 47.

"Tingkat inovasi yang rendah tidak terlepas dari beberapa faktor. Seperti regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, level pendidikan yang masih rendah, serta anggaran riset yang relatif kecil. Dalam hal regulasi misalnya, aturan soal paten juga cukup lemah," ujar dia.

Berly menekankan persoalan paten sangat mendesak, lantaran peringkat Indonesia berada di urutan ke 103 dari 127 negara. "Artinya Indonesia adalah salah satu negara yang sedikit kontribusinya terhadap inovasi di dunia," kata dia.

Hal kritis lainnya yang perlu dibenahi, dia melanjutkan, adalah minimnya belanja litbang atau riset. Belanja riset Indonesia hanya sebesar 0,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) selama dua tahun terakhir. Negara lain di ASEAN seperti Singapura dan Thailand sudah di atas 2,5 persen.

“Tentu dengan anggaran pemerintah yang terbatas dalam hal riset, peran swasta harus lebih banyak dilibatkan. Swasta bisa berkontribusi apabila ekosistem riset termasuk kebijakan inovasi, khususnya berkaitan dengan paten mendukung.” ujar Berly.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya