Motif Pelaku di Balik Penembakan Brutal di Masjid Christchurch

Paramedis menolong korban penembakan masjid di Selandia Baru
Sumber :
  • Sumber BBC

VIVA – Pelaku penembakan brutal di masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, mengunggah sebuah manifesto di media sosial tentang alasannya melakukan serangan tersebut.

Viral Imam Masjid di Turki Ajak Main Anak-anak di Masjid, Warganet: di Indo Mah Boro-boro

Sampai saat ini sebanyak 40 orang dinyatakan meninggal dunia setelah pria bersenjata menembaki dua masjid di kota yang jaraknya sekitar 440 kilometer dari ibu kota di Selandia Baru tersebut.

Pelaku yang mengidentifikasikan dirinya di Twitter sebagai Brenton Tarrant dari Australia, menyiarkan secara langsung video saat melakukan serangan mematikan dan mengarahkan kamera ke mukanya sendiri sebelum melakukan serangan.

Deretan Negara Ini Ternyata Tidak Miliki Masjid, Ada Negara Tak Terduga!

Dilansir dari News.com.au, dalam sebuah manifesto sebanyak 73 halaman yang diunggah, pelaku menyebut dirinya sebagai orang kulit putih biasa yang lahir dari keluarga berpenghasilan rendah dan ingin menjamin masa depan 'rakyatnya'.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison sudah mengonfirmasi bahwa seseorang yang ditahan terkait insiden tersebut adalah warga negara Australia. Morrison menyebut pelaku sebagai teroris ekstremis, sayap kanan dan kejam.

Daud Kim Diduga Lakukan Penipuan Donasi Masjid, Komunitas Muslim Korea Ungkap Fakta Mencengangkan

Pelaku mengungkapkan alasannya untuk melakukan serangan itu adalah untuk menunjukkan kepada para penjajah bahwa "tanah kita tidak akan pernah menjadi tanah mereka, dan Tanah Air kita adalah milik kita sendiri. Selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kita".

Dia juga mengatakan aksi itu dilakukan untuk membalaskan dendam Ebba Akerlund, seorang anak berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan teror di Stockholm pada 2017.

Dalam manifesto tersebut, Tarrant menggambarkan serangan Stockholm sebagai peristiwa pertama yang menginspirasinya untuk melakukan serangan, khususnya kematian gadis kecil berusia 11 tahun itu.

"Ebba mati di tangan para penjajah, penghinaan atas kematiannya yang kejam dan ketidakmampuan saya untuk menghentikannya membuat saya tidak bisa lagi mengabaikan serangan itu," ujarnya.

Dia menyebut serangan di Selandia Baru saat jemaah sedang melakukan salat Jumat itu terinspirasi dari perjalanan yang dia lakukan ke Prancis pada 2017.

"Selama bertahun-tahun saya telah mendengar dan membaca invasi Prancis oleh orang-orang non-kulit putih, banyak rumor dan cerita yang saya yakini berlebihan, dibuat untuk mendorong narasi politik".

"Tetapi begitu saya tiba di Prancis, saya menemukan kisah-kisah itu tidak hanya benar tapi juga sangat meremehkan. Di setiap Kota Prancis, para penjajah ada di sana," dituliskan pelaku.

Pelaku juga mengatakan dia tidak merasa menyesal atas serangan itu dan berharap bisa membunuh lebih banyak "penjajah" dan pengkhianat. Dia mengaku ada faktor rasial untuk serangan itu dan menggambarkannya sebagai anti-imigrasi serta bentuk serangan atas nama keberagaman. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya